Happy reading
Semoga masih ada yang menunggu cerita ini.
*****
Sudah tiga hari ini, Aliyah dirawat di rumah sakit. Dokter Irma masih terus mengupayakan pengobatan terbaik bagi dirinya. Seluruh keluarga Haidar, menyayangkan tindakan Aliyah yang selama ini telah menyembunyikan penyakitnya. Sania sebagai mertuanya sedikit kecewa, apalagi dia adalah orang terakhir yang diberitahu tentang semua itu.
Dari luar ruangan istrinya, Haidar menyeka air matanya sebelum masuk. Setiap kali bertemu dengan sang dokter dan berbincang tentang perkembangan kesehatan Aliyah, hatinya teraduk-aduk tak karuan memikirkan keadaannya. Seandainya bisa, dia ingin mengambil sedikit rasa sakit tulang rusuknya itu agar bisa mengurangi beban yang diderita pasangan hidupnya.
"Asalamualaikum," sapa Haidar.
"Waalaikumsalam. Mas, dari mana? Aku bangun tadi tidak melihatmu sama sekali." Aliyah menatap lekat suaminya. "Mas, habis nangis, ya?"
Haidar menggelengkan kepalanya, menanggapi pertanyaan Aliyah. Dia semakin mendekatkan diri pada istrinya. "Tidak, Al. Kenapa makanannya belum disentuh? Apa nunggu Mas yang menyuapi?"
Nampan yang berisi makan siang untuk Aliyah masih rapi tertutup plastik wrap, obat yang dibawakan perawat juga belum tersentuh olehnya. Haidar menyugar mahkota kepalanya, embusan napas panjang, tetapi pelan dia lakukan. Dia harus kuat di hadapan istrinya saat ini.
Haidar membuka plastik yang ada di nampan itu dan mulai menyendokkan pada Aliyah. "Buka, Al! Kamu harus makan yang banyak dan teratur demi kesembuhanmu. Apa tidak mau mewujudkan mimpimu untuk memiliki momongan?"
"Mas, apa mungkin itu terjadi? Jika umurku saja mungkin tak panjang lagi," kata Aliyah sedih.
"Al, jangan pernah mendahului kehendak Allah. Semua mungkin jika Allah sudah menghendaki. Kita sebagai hamba-Nya, hanya perlu berdoa dan pasrah." Satu sendok suapan Haidar kini sudah berpindah pada Aliyah.
Meski hatinya remuk melihat kondisi istrinya yang semakin hari makin melemah, Haidar tetap tersenyum menguatkan Aliyah. Menikahi perempuan yang ada di hadapannya ini, awalnya begitu berat, tetapi seiring waktu rasa yang dimilikinya terhadap istri yang telah dihalalkan mengikis semua cinta lama yang dia miliki.
Rasanya Haidar tak akan pernah sanggup untuk kehilangan Aliyah saat ini. Baru sebentar dia merasakan manisnya berumah tangga, tetapi kenyataan tentang penyakit yang diderita istrinya menghempaskan semua harapan. Haidar masih terus berusaha menyuapi kekasih halalnya di tengah lamunan panjang.
"Mas, sudah, ya? Aku sudah kenyang," kata Aliyah.
"Tinggal dua sendok lagi, Al. Setelah itu minum obatnya." Haidar menyodorkan kembali sendok yang telah berisi nasi dan lauk pada Aliyah.
"Mas ... nanti malah muntah, lho." Ucapan Aliyah disertai senyuman termanis dan kerlingan mata agar suaminya itu tak lagi memaksanya untuk makan.
"Ya, sudah. Sekarang minum obatnya, ya!" Saat tangan kanan Haidar akan meraih obat yang berada di atas nakas, benda pipih pintar miliknya yang diletakkan di sofa berdering nyaring.
Aliyah menunjuk dengan isyarat matanya agar Haidar segera menganggkat telepon. "Angkat saja, Mas. Aku bisa ambil dan minum obat sendiri. Pasti panggilan itu penting banget sampai berulang kali nelponnya."
Sebelum mengiyakan permintaan istrinya, Haidar sudah memberikan obat itu terlebih dahulu. Setelah itu, dia berjalan ke arah ponsel yang masih berdering, keningnya berkerut saat menatap nama pada layarnya. Segera saja dia mengeser ikon hijau untuk menerima panggilan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Seindah Surga Yang Dirindukan (Tamat)
RomanceTerkadang dirinya merenung, mengapa hidup bisa berlaku sadis. Tersiksa rindu oleh sang gadis hingga tak tersisa kecuali perih tanpa habis. Angannya melayang pada percakapan imajinari antara dirinya dan dia yang tak pernah terjadi. Ia hanya ingin per...