Happy reading
Jangan lupa tekan bintangnya, ya.***
Rasa gugup melanda Aliyah ketika memasuki ruang observasi pengambilan sampel sel kanker pada dirinya. Hal itu dilakukan untuk mengetahui apakah kanker yang dideritanya memiliki target untuk menjadi fokus pengobatan terapi. Setelah mendapat penjelasan dan pengarahan sebelumnya, Aliyah makin pesimis jika penyakitnya sulit disembuhkan.
Semangat dari Haidar dan seluruh keluarganya tak mampu menghilangkan ketakutan Aliyah. Sepersekian persen keyakinannya mengatakan tak akan selamat dari kanker yang sudah bersarang. Namun, demi melihat kebahagiaan Haidar Aliyah menjalani semua ini.
Di luar ruangan, Haidar berjalan mondar-mandir. Rangkaian doa dia panjatkan agar segala proses pengobatan istrinya berhasil. Hatinya yakin, Aliyah akan sembuh dan semua akan berjalan baik-baik saja.
"Mas, njenengan duduk! Ini saya belikan roti untuk pengganjal lapar. Ya, walaupun ndak mengenyangkan setidaknya jangan biarkan perutnya kosong. Kalau Mas sakit juga, 'kan repot. Terus yang jaga Mbak Al siapa?" Pak Mat mendekati Haidar dan menyerahkan sekantung tas kresek berisi roti dan air mineral.
"Terima kasih. Pak, doakan istri saya. Semoga pengobatan ini berhasil dan dia mampu menjalani proses panjangnya." Haidar duduk di sebelah Pak Mat.
"Bapak pasti doakan, Mas. Semua yang terbaik buat keluarga Mas Haidar sama Ibu. Silakan di maem dulu rotinya, Mas. Saya ndak mau Ibu ngatain ndak jaga Mas dengan baik." Panggilan Ibu yang tersemat dari Pak Mat tak lain adalah Sania, bundanya Haidar.
"Iya, Pak. Ini hari Kamis, 'kan?" Haidar masih tetap tersenyum tanpa menerangkan bahwa dirinya hari ini sedang berpuasa.
"Astagfirullah. Bapak lupa, Mas." Pak mengulurkan tangannya meminta barang yang diberikannya tadi. "Maafkan saya."
"Enggak apa-apa, Pak. Simpan di mobil saja! Siapa tahu nanti dibutuhkan. Kayaknya kita bakalan lama nunggu hasilnya."
Berjam-jam menunggu, dokter akhirnya membuka pintu ruangannya. Haidar segera menghampiri dan menanyakan keadaan istrinya lebih lanjut. Sang dokter menyarankan agar Haidar pulang terlebih dahulu karena hasilnya baru akan diketahui besok. Tak berapa lama, Aliyah juga keluar dari ruangan dengan kursi rodanya.
"Saya yakin terapi tertarget ini akan bisa dilakukan pada pengobatan Ibu Aliyah. Tetap sabar menjalani semuanya, ya, Pak. Mari ke ruangan saya!" ajak sang dokter.
Beberapa hal yang berkaitan dengan sistem pengobatan dijelaskan sang dokter dengan sangat baik. Bagaimana cara kerja dan efek samping yang akan diderita pasien selama pemgobatan pun sudah diterangkan. Haidar menyimak penjelasan itu dengan baik, tetapi tidak dengan Aliyah. Dia tampak gelisah, kedua tangannya meremas-remas ujung jilbab.
Haidar menyadari hal itu, ditangkupkan tangan kirinya di atas Aliyah kemudian jari-jemarinya mulai menyusup ke sela-sela jemari mungil sang istri. Dari sorot matanya, Haidar ingin mengatakan bahwa semua akan terlewati dan jangan khawatir.
Sinar mentari mulai meredup yang menandakan bahwa hari akan segera berganti. Haidar dan Aliyah duduk di teras rumah mereka, keduanya berdekatan, tetapi dengan pikiran masing-masing. Tak ada satu kata pun yang terucap.
Suara panggilan Pak Mat, mengejutkan keduanya. "Mas, Mbak, ayo maem. Ini makanannya sudah datang." Dia menunjukkan sebuah rantang makanan.
Selama berada di kota ini, Haidar sengaja memesan katering untuk asupan gizi mereka sehari-hari. Keperluan lainnya bisa dia kerjakan sendiri tanpa merepotkan sang istri. Namun, hal itu hanya akan berlangsung beberapa minggu ke depan saja sampai orang suruhan bundanya datang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Seindah Surga Yang Dirindukan (Tamat)
RomanceTerkadang dirinya merenung, mengapa hidup bisa berlaku sadis. Tersiksa rindu oleh sang gadis hingga tak tersisa kecuali perih tanpa habis. Angannya melayang pada percakapan imajinari antara dirinya dan dia yang tak pernah terjadi. Ia hanya ingin per...