23. Keputusan Sulit.

878 67 47
                                    

Happy Reading

***


"Al, kenapa harus ada kata itu? Kamu mau suamimu ini jalan miring di akhirat kelak? Pikirkan kesehatanmu saja, jangan yang lain." Haidar merapikan selimut yang Aliyah pakai. Menciumnya tepat pada kening sang istri, lalu berjalan kembali ke kamar kecil meneruskan niatnya berwudu yang sempat tertunda.

"Mas," panggil Aliyah. Tangannya terulur menggenggam jemari Haidar. "Pikirkan sekali lagi! Setidaknya, jika aku tiada nanti ada seseorang yang akan mendampingi dan memberikan keturunan yang tidak bisa kulakukan."

"Tidurlah! Kita bicarakan nanti setelah kamu sembuh."

Sebagai seorang lelaki normal, siapa yang tidak ingin memiliki keturunan dari hasil pernikahannya. Namun, Haidar bukanlah manusia egois. Dia tetap ingin menjaga perasaan Aliyah. Cukup menyakiti hati perempuan yang telah dihalalkannya ini di awal pernikahan. Kesalahan yang sama tidak akan dia ulang untuk kedua kalinya.

Harusnya ada rasa bahagia di hati Haidar saat Aliyah bersedia di poligami, seperti kebanyakan lelaki lain. Namun, itu tidak terjadi pada lelaki yang telah berhasil menghapus seluruh nama Hazimah di dalam hatinya. Jika banyak di luaran sana para lelaki berlomba untuk memiliki seorang istri lebih dari satu, maka Haidar sebaliknya. Dia sangat takut jika hal itu sampai terjadi pada diri dan keluarganya. Sebuah ketakutan ketidakmampuan akan berlaku adil membayangi Haidar kini.

Astagfirullah. Bagaimana kamu bisa berpikir seperti itu, Al?

***

Hari keberangkatan pengobatan Aliyah sudah semakin dekat. Berbagai persiapan telah Haidar lakukan termasuk ijin cuti kepada atasannya. Sebagai seorang ASN tentunya dia harus mematuhi segala hal yang telah ditetapkan negara, termasuk dalam hal pengajuan cuti.

Pada saat Haidar mendengar kabar bahwa Aliyah terdiagnosis kanker, dia segera mengajukan cuti besar, meskipun sampai saat ini sang atasan belum memberikan ijin. Haidar berharap akan ada keajaiban di detik-detik keberangkatannya besok. Harapannya sangat besar agar sang atasan mau mengabulkan permohonannya.

Di lorong rumah sakit tepat di ruangan rawat Aliyah, Haidar berpapasan dengan Yana dan Hazimah. Hari ini memang dia berniat untuk menemui mereka. Sejak penanganan medis pada kandungan Hazimah saat itu, Haidar belum menanyakan ulang bagaimana kabarnya.

"Gimana keadaan istrimu, Mas?" tanya Yana setelah Haidar menyalaminya.

"Doakan saja, Tan. Besok kami sudah mulai melakukan mengobatannya."

"Oh, ya? Di mana?" Yana merasa bahagia sekali melihat kabar yang dikatakan Haidar.

"Di Surabaya, Tan. Itu juga rekomendasi dari dokter yang menangani Aliyah selama ini." Pandangan Haidar berpindah pada Hazimah. "Bagaimana kabarmu?"

"Alhamdulillah, jauh lebih baik," jawab Hazimah disertai pandangan yang tertunduk.

"Tante mau jenguk istrimu, Mas. Di mana ruangannya?" Suara Yana memecah suasana yang mulai terasa canggung di antara keduanya.

"Ikuti saya, Tan. Ruangannya ada di ujung sana," Haidar menunjuk sebuah kamar yang di depannya telah berdiri seseorang.

Aliyah berusaha merapikan jilbabnya saat wajah Hazimah dan Yana terlihat. Inilah saat yang ditunggu-tunggu olehnya, bertemu dengan Hazimah dan memohon kerelaan perempuan itu untuk menjadi suami Haidar. Garis bibir Aliyah terangkat ke atas membayangkan semua keputusannya akan terjadi.

"Tante, Mbak Azza," panggil Aliyah bahagia.

"Assalamualaikum. Apa kabar, Al?" tanya Hazimah, dia memeluk perempuan itu diiringi ciuman khas sahabat yang lama tak bertemu.

Seindah Surga Yang Dirindukan (Tamat) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang