Happy Reading***
Haidar meraba kening Aliyah saat istrinya itu tengah terlelap. Ada benjolan kecil yang timbul di sana, bisa jadi, itu luka yang ditimbulkan kerena terjatuh. Tanpa memberitahu Aliyah, Haidar menghubungi dokter yang menanganinya.
Sekalipun lukanya kecil, tetapi Haidar takut akan ada efek pada pengobatan yang sedang dijalankan. Luka di bagian lengan, darahnya masih merembes sedikit. Tak lama, terdengar balasan dari chat yang dikirimkan oleh dokter.
Dokter mengatakan, Haidar bisa memeriksakan istrinya besok. Sekalipun jadwal kontrol masih seminggu lagi, tetapi jika ada kekhawatiran atau kendala, mereka berdua diperkenankan untuk konsultasi lebih lanjut. Haidar mengembuskan nafas lega membaca balasan chat sang dokter.
Dilihatnya kembali sang istri yang terusik tidurnya, kali ini terdengar rintihan dari Aliyah. Sigap, Haidar mengusap rambutnya untuk menenangkan kembali. Belum genap satu tahun pernikahan, sudah banyak cobaan serta ujian yang harus keduanya hadapi.
Terbayang bagaimana sikapnya dulu pada Aliyah, lalu reaksi Aliyah saat tahu kisah masa lalunya. "Andai tidak ada kanker yang kamu derita, apa mungkin keputusan itu masih sama, Al? Aku yakin enggak karena tak ada perempuan mana pun yang rela suaminya menikah lagi." Haidar berkata sendiri.
"Aku tetap akan melakukannya, Mas," jawab Aliyah. Seketika Haidar membola, ucapan yang dia katakan ternyata di dengar sang istri.
Entah Aliyah benar-benar mendengar atau hanya igauan saja karena saat Haidar menengoknya, sang istri masih memejamkan mata. Alam bawah sadar Aliyah ternyata masih memikirkan masalah itu. Haidar menyentuh kening sang istri, ada peningkatan suhu tubuhnya.
Gegas Haidar mengambil termometer dan menjapitnya di ketiak Aliyah. Beberapa detik, alat itu sudah memberikan tanda. Angka yang tertera cukup membuatnya terperanggah, 38 derajat celsius. Haidar makin panik, sigap dia mengambil obat-obatan Aliyah. Namun, tak ada satu pun yang dia mengerti.
Tanpa berpikir panjang lagi, Haidar membangunkan Pak Mat yang lelap dalam tidurnya. Meminta tolong lelaki paruh baya itu untuk mengantarnya ke rumah sakit.
"Mas, ini sudah malam. Apa ndak sebaiknya hubungi dokter yang biasa itu?" saran Pak Mat.
"Astagfirullah. Bener juga, Pak." Haidar menepuk keningnya sendiri.
"Coba di telepon dulu, Mas. Nanti gimana-gimananya biar tahu." Pak Mat menunggu Haidar yang mengambil ponsel.
Dari tempat Pak Mat berdiri, dia melihat Haidar yang mengangguk-anggukkan kepala. Tak begitu jelas apa yang mereka bicarakan sekarang. Selesai dengan percakapannya, Haidar menghampiri lelaki paruh baya itu.
"Pak, njenengan siap-siap, nggeh. Sewaktu-waktu, saya akan minta bantuannya," ucap Haidar.
"Nggeh, Mas. Saya siap. Gimana katanya dokter, Mas?" tanya Pak Mat.
"Dia cuma nyarankan ngasih obat yang biasanya diminum Aliyah, Pak."
"Oh." Pak Mat tak mengatakan apa pun setelahnya karena dia memang tidak tahu-menahu masalah obat yang dikonsumsi oleh Aliyah.
Di kamarnya, Haidar mulai mencari obat yang dikatakan sang dokter. Salah satu obat yang dapat menurunkan demam Aliyah. Satu obat sudah dia berikan kepada sang istri bersamaan dengan vitamin yang belum sempat diminum tadi.
"Sayang, jangan pikirkan apa-apa dulu biar kamu cepet sehat," nasihat Haidar sesaat setelah Aliyah meminum obatnya.
Keadaan Aliyah memang sangat lemah sekali, menjawab pertanyaan sang suami saja dia sudah tak sanggup. Lelah mendera hati dan tubuh Haidar, mau sampai kapan istrinya meminta agar dia menikah dengan Hazimah. Sekalipun, sang istri tak bercerita jika membahas keinginannya, tetapi Haidar yakin mereka membicarakan masalah itu di telepon.
Satu jam yang lalu, sebelum Aliyah tertidur. Haidar menerima sebuah chat yang berisi permintaan maaf Hazimah yang tidak bisa melakukan keinginannya. Chat itu masuk dan dibaca tanpa sengaja olehnya di ponsel sang istri. Cepat-cepat Haidar membalas tanpa melibatkan Aliyah lagi.
***
Tanpa mengganggu istirahat sang istri, Haidar melantunkan ayat-ayat Al-qur'an dengan nyaring. Sepertiga malamnya dihabiskan untuk bermunajat, bukan mengeluh atas keadaan yang dia jalani sekarang. Namun, lebih kepada curhatan seorang hamba kepada Sang Penciptanya.
Mendengar azan fajar berkumandang, Haidar menghentikan bacaannya. Sekilas dia menengok ke arah Aliyah yang masih terlelap. Suara igauan tak jelas terdengar samar oleh inderanya. Haidar berdiri dan mendekat pada istrinya, menyentuh kening serta mengecupnya sebentar. Masih terasa panas, rupanya obat yang diberikan belum bereaksi.
Sesuai saran dokter tadi malam, Haidar mengambil handuk kecil dan sebaskom air untuk mengompres. Meletakkan alat pengecek suhu tubuh di antara lipatan ketiak sang istri. Jam dinding masih menunjukkan pukul tiga dini hari. Haidar sedikit panik ketika alat itu berbunyi dan melihat angka yang tertera. Bukannya turun, suhu tubuh Aliyah malah meningkat.
Ya Allah, bagaimana ini? Semalaman aku sudah menjaganya dan memberi obat sesuai anjuran dokter. Jika begini aku harus bagaimana? Monolog Haidar. Tangannya masih sibuk mengompres Aliyah.
***
"Sebenarnya apa yang terjadi dengan Ibu Aliyah, Pak? Kontrol terakhir beliau masih baik-baik saja. Progres kesehatannya pun makin membaik, tapi sekarang?" Sang dokter menjelaskan pada Haidar.
Setelah Subuh, Haidar dan Pak Mat membawa Aliyah ke rumah sakit tempat dokter Aditya praktek. Panas yang dialami sang istri salah satu sebabnya. Beruntungnya pukul tujuh pagi, dokter yang telah merawat Aliyah itu datang tepat waktu sebagaimana janjinya.
"Sebelum jatuh juga dia baik-baik saja, Dok. Waktu saya konsultasi semalam panasnya juga enggak setinggi ini," ungkap Haidar takut-takut.
"Apa ada masalah yang dia pikirkan saat ini? Sehingga menjadi sebab imun tubuhnya menurun drastis. Jika ini dibiarkan terus menerus, maka pengobatan kankernya akan sia-sia."
Jantung Haidar berpacu dengan cepat, tidak mungkin dia mengikuti keinginan istrinya. Namun, jika masalah ini tak kunjung dia selesaikan, maka fatal akibatnya. Dilema itu selalu saja hadir dalam keputusan Haidar.
"Pak, saya mohon jaga pikiran Ibu agar tidak stres yang bisa berakibat fatal nantinya." Nasihat dokter Aditya sebelum dia meninggalkan ruang rawat Aliyah.
"Insyaallah, Dok. Terima kasih." Mereka berjabat tangan.
Di luar ruang rawat Pak Mat tampak menerima telepon, tak jelas siapa. Namun, ketika Haidar membuka pintu gegas dia mendekati sang majikan. Kepanikan tergambar jelas dari wajah keriputnya.
"Siapa, Pak?" tanya Haidar.
"Bunda, Mas." Pak Mat segera menyerahkan ponselnya pada Haidar.
"Assalamualaikum, Bun. Pripun, Bun?"
"____"
"Astagfirullah. Di sini Aliyah juga sedang di rawat, kemarin dia jatuh dari kursi roda. Badannya panas dari semalam. Bun, Adik harus gimana niki?" Mungkin beban yang mengimpit Haidar membuatnya terdengar manja dan putus asa pada bundanya.
"____"
"Ponselnya enggak tahu di mana, lupa naruh karena panik. Bisa jadi, Bun. Kemarin mereka teleponan dan setelah itu Aliyah terjatuh dari kursi roda. Bun, adik harus gimana ini? Dokter menyarankan agar tidak membebani pikiran Aliyah. Haidar bingung tenan niki." Wajah panik Haidar setelah mendengar kabar dari sang Bunda terlihat jelas.
"___"
"Enggeh, insyaallah. Waalaikumsalam." Haidar menyerahkan kembali ponsel yang digenggamnya pada Pak Mat setelah percakapannya dengan Sania selesai.
Pak Mat masih menunggu apa yang akan dikatakan majikannya, tetapi tak juga Haidar mengucapkan apa-apa. Dia malah mengembuskan napas panjang dan merapalkan istigfar beberapa kali. Lelah menunggu, Pak Mat membuka suaranya.
"Pripun, Mas? Apa kita akan pulang setelah Ibu datang?" tanya Pak Mat.
"Saya enggak tega ninggalin Aliyah sendiri, tapi di sana Tante Yana juga sangat butuh bantuan. Ya Allah berikanlah jalan keluar pada hamba," doa Haidar.
***
Love you all 😘😘
Banyuwangi, 7 Juni 2021
![](https://img.wattpad.com/cover/228340212-288-k190106.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Seindah Surga Yang Dirindukan (Tamat)
RomanceTerkadang dirinya merenung, mengapa hidup bisa berlaku sadis. Tersiksa rindu oleh sang gadis hingga tak tersisa kecuali perih tanpa habis. Angannya melayang pada percakapan imajinari antara dirinya dan dia yang tak pernah terjadi. Ia hanya ingin per...