43. Pangeran kedua.

1K 84 61
                                    


Happy reading

*****

"Maaf, Sayang. Mas enggak sempat ngasih kabar. Bundanya Ilyas ada di klinik sekarang. Semalam dia mengatakan perutnya sakit karena panik jadi lupa ngasih tahu kamu sama Bunda," tulis Haidar pada chat yang dikirimkannya.

Pukul empat dini hari, ponsel Haidar bergetar ada yang melakukan panggilan. Sayup-sayup dia mendengar nada dering khusus untuk panggilan dari istri kedua. Haidar mengerjapkan mata. Di sisinya, Aliyah masih tertidur pulas tak terganggu sedikitpun dengan suara nyaring dari ponsel.

Haidar menggeser posisinya, duduk bersandar pada kepala ranjang sambil mengangkat telepon. Di seberang sana, suara Hazimah terdengar mengaduh. Cepat lelaki itu mengganti pakaiannya dan mengahampiri sang istri muda.

"Kirain Mas ke mana. Aku bangun sudah nggak ada. Di klinik mana? Gimana keadaannya sekarang?" balas Aliyah beberapa menit kemudian.

Gesit Haidar menggerakkan tangan, menekan kontak istri pertamanya. Beberapa kali deringan belum juga terangkat. Dia mulai resah tak ada seorang pun yang bisa diajak berdiskusi saat ini. Haidar sengaja tak membolehkan Yana untuk ikut semalam karena ada Ilyas yang masih tertidur pulas.

"Assalamualaikum, Mas. Aku sudah berangkat ke klinik sama Bunda dan Pak Mat. Tunggu aja bentar lagi nyampe kok." Seakan tahu kekhawatiran suaminya, Aliyah tak memberi kesempatan Haidar berkata.
"Waalaikumsalam. Mas tunggu, ya, Sayang," jawab Haidar.

Tepat ketika Haidar menutup panggilannya, seorang perawat jaga yang menangani Hazimah keluar. Tenang dia menghampirinya, lalu berkata, "Dokter menyarankan Anda masuk ke ruang bersalin, Pak. Ikut membantu proses persalinan istri Anda," ucapnya, pembukaannya sudah lengkap. Mari!" ajak perawat itu.

Haidar tak mampu berkata-kata lagi, hanya anggukan kepala yang dia berikan pada perawat. Gemuruh hatinya mulai menggema. Ini adalah kejadian yang baru Haidar alami pertama kali sepanjang hidupnya.

Netranya bertemu dengan Hazimah yang terbaring dengan segala kesakitan. Peluhnya sudah membanjiri seluruh wajah, Haidar makin gugup. Namun, dia berusaha menyembunyikan semuanya. Ada istri yang sedang berjuang mempertaruhkan nyawa di sana.

"Mas, ke-na-pa ikut masuk?" tanya Hazimah di antara kesakitannya.

"Tidak apa-apa Ibu. Dokter meminta suami Anda untuk membantu proses persalinannya agar lebih mudah," jelas perawat, "silakan mendekat, Pak! Cari posisi ternyaman membantu Ibu. Anda bisa duduk di belakangnya mendekap Ibu atau berdiri merangkulnya."

Setelah mengatakannya perawat itu memeriksa bagian bawah Hazimah, senyum tersampir darinya. Namun, tidak dengan Hazimah, dia mendesis kesakitan dan memejamkan mata. Rasa sakit itu kian menjadi kini.

"Astagfirullah," ucap Hazimah.

Cepat Haidar mendekatinya, menggenggam tangan sang istri, "Sabar, ya, Nda. Sebentar lagi dokter datang. Mereka sedang menyiapkan semuanya."

Tak ada jawaban, hanya genggaman tangan Hazimah makin mengeras. Tangan yang lain terlihat mencengkeram pinggiran ranjang. Ciuman pada kening, Haidar berikan berkali-kali. Sesakit itukah saat seorang perempuan melahirkan.

Rasanya pantas jika Allah memuliakan perempuan bahkan salah satu nama dan sifat-Nya yang tercantum dalam asmaulhusna tersemat pada organ seorang perempuan. Ar-Rahiim yang artinya Maha Penyayang menjadi nama tempat bertumbuhnya janin dalam tubuh kaum Hawa yaitu rahim. Pada kaum lelaki Allah tak memberikan keistimewaan itu.

Salah satu dokter dan dua orang perawat kembali masuk ke ruangan. "Saya menyarankan, sebaiknya Bapak duduk di belakang ibunya saja. Sandarkan badannya hingga setengah duduk. Kita mulai, ya, Bu," ajak dokter.

Seindah Surga Yang Dirindukan (Tamat) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang