17. Pertemuan yang tak diinginkan

749 67 22
                                    


Happy reading

***

"Mas, gak ngantor? Sudah hampir jamnya, lho." Aliyah melirik suaminya, dia masih duduk dengan tenang di sampingnya yang sedang berbaring setelah meminum obat.

"Mas, ijin saja hari ini. Takut terjadi sesuatu yang tidak diinginkan seperti kemarin." Aliyah mulai gelisah, dia tidak mungkin bisa pergi ke klinik dokter Irma saat ada suaminya.

"Oh," Hanya kata itu yang akhirnya  terlontar dari bibir Aliyah.

"Bentar, ya. Mas mau menelepon orang kelurahan untuk ijin."

"Iya." Aliyah segera mengambil ponselnya untuk menghubungi dokter Irma.

"Asalamualaikum, Dok. Sepertinya, hari ini saya tidak bisa ke klinik. Suami saya ijin tidak bekerja. Bagaimana kalau diganti hari lain saja?" Dengan segera Aliyah mengirimkan pesan yang telah ditulisnya.

Tak berapa lama pesannya sudah dibalas oleh sang dokter. "Oke. Kabari saja nanti jam dan harinya! Saya tunggu kedatangannya."

"Siap, Dok! Saya pasti datang," tulisnya.

Saat melihat Haidar masuk, Aliyah segera menyembunyikan ponselnya. Haidar segera menyadari gelagat aneh darinya. "Kamu kenapa? Kepalanya sakit lagi?"

"Gak, Mas. Aku, hanya ingin istirahat lagi. Mungkin ini efek obat yang aku minum, gampang ngantuk."

"Maaf, ya, Al. Hari ini, aku tidak bisa menemani seperti kataku tadi. Ada sidak dari kecamatan, jadi tidak ada yang boleh ijin." Raut mukanya terlihat kecewa. Doa Aliyah terkabul hari ini.

"Tenang! Aku gak masalah, Mas, kamu kerja aja, gak apa-apa." Aliyah berusaha memejamkan matanya agar Haidar semakin yakin.

"Nanti, saat butuh sesuatu minta tolong Bunda saja." Haidar mendekat ke arah lemari dan mengambil pakaian kerjanya.

Sesekali Haidar melirik ke arah istrinya, memastikan bahwa Aliyah sudah terlelap dalam tidurnya. Lengkungan bibirnya semakin terlihat jelas saat menatap wajah perempuan yang telah memberinya kebahagiaan. Hatinya memang belum sepenuhnya dimiliki oleh Aliyah, tetapi perlahan dia telah menggeser posisi Hazimah yang telah menempati bagian terbesarnya selama ini.

Haidar ke luar dari kamar setelah mengecup kening istrinya. Sekalipun mata Aliyah terpejam, tetapi dia tidak tertidur. Hatinya menghangat saat sang suami memberikan kecupan, kini dia memiliki harapan baru untuk sembuh.

Sebelum berangkat, Haidar menghampiri bundanya yang sedang menelepon seseorang. Menunggunya sampai selesai, setelah Sania menyelasaikan percakapan selulernya, dia melihat ke arah Haidar.

"Ono opo, Le (ada apa, Nak)?" tanya Sania.

"Bun, Haidar berangkat kerja dulu, nggeh. Minta tolong, tengok Aliyah sesekali di kamar!"

"Iya, hati-hati, Le." Sania mengucapkan kata itu saat Haidar selesai mencium telapak tangannya.

***

"Dok, saya ke klinik sekarang! Dokter ada waktu tidak untuk hari ini." Aliyah kembali mengabari Dokter Irma. Harap-harap cemas dia menunggu balasan dari sang dokter sambil bersiap diri. Tak lupa dia menghubungi ayahnya agar menjemput dan meyakinkan Sania nantinya.

Dua puluh menit berlalu, dokter Irma belum membalas chat yang Aliyah kirimkan. Dia mulai cemas, dari luar kamarnya Sania berteriak memanggil namanya. Aliyah, bergegas ke luar.

"Nduk, ada ayahmu. Dia ingin mengajakmu ke rumah, katanya ibumu kangen sama anak sulungnya." Sania mengelus lengan Aliyah penuh kasih sayang. Dari tempatnya berdiri terlihat ayahnya duduk dengan tenang di temani secangkir teh. "Bunda, dari tadi memanggil kamu. Kirain kamu masih tidur."

"Maaf, Bun, Al, gak dengar," sesalnya, "Bun, Aliyah boleh ke rumah Ayah? Rasanya capek berbaring terus di kamar." Suaranya dibuat sepelan mungkin agar Sania menyetujui.

"Kamu telepon masmu dulu, gih! Kalau Bunda ngijinin nanti dia marah. Bunda ndak berani, Nduk."

"Enggeh, Bun. Sebentar, Aliyah, mau ambil ponsel." Dia kembali ke kamarnya, saat ponsel sudah berada di genggaman, Aliyah mulai menghubungi suaminya.

Pertama kali Aliyah meminta ijin kepada suaminya, Haidar melarang dengan alasan kesehatannya masih belum pulih sepenuhnya. Namun, saat mertuanya yang meminta ijin, akhirnya dia meloloskan permintaan Aliyah. Haidar mengajukan syarat, jika istrinya itu, hanya boleh di rumah saja, tidak boleh pergi-pergi ke tempat lain.

"Bun, Al, berangkat dulu, nggeh," pamitnya.

"Hati-hati, ya, Sayang! Kesehatanmu belum pulih sepenuhnya." Sania melirik ke arah besannya. Dengan mata dia mengisyaratkan untuk menjaga menantunya itu baik-baik.

"Tenang saja, Mbak Yu, ada saya. Jangan lupa, saya ini ayahnya, lho!" Mereka bertiga tertawa dengan lontaran dari Abdul.

Di tengah perjalanan, Aliyah mendapat balasan dari Dokter Irma. Dia mengabarkan jika hari ini Aliyah bisa datang untuk cek kesehatan. Abdul segera mencari tempat parkir terdekat dan nyaman saat sampai di halaman klinik.

Aliyah ragu-ragu untuk turun, di seberang mobilnya, dia melihat Hazimah serta mertuanya. "Yah, jangan turun dulu! Lihat dua orang itu!" tunjuknya pada Hazimah, "jangan sampai mereka tahu aku datang ke klinik ini."

"Siapa mereka, Nduk?" tanya Abdul.

"Mereka salah satu sahabat Mas Haidar, Yah. Kalau kita sampai berpapasan, bisa jadi mereka akan bercerita kepadanya." Belum saatnya, suami dan sahabatnya itu tahu apa yang sedang Aliyah alami.

Beberapa menit mereka menunggu, sampai kedua perempuan itu tak terlihat lagi. "Ayo, Nduk! Mereka sudah gak kelihatan." Ayah dan anak itu segera turun untuk menemui Dokter Irma.

Aliyah dan Pak Abdul langsung masuk ke ruangan Dokter Irma. Tanpa menunggu antrian, keduanya segera dipersilahkan masuk. Selalu saja, hati Aliyah bergetar saat melakukan pemeriksaan kepada dokter cantik di depannya ini. Takutnjika penyakitnya akan semakin bertambah stadiumnya.

"Asalamualaikum. Bagaimana kabarnya, Al?" tanya Dokter Irma ramah dengan senyum termanis tentunya. Dia sangat memahami ketakutan yang sedang melanda Aliyah.

"Waalaikumsalam. Alhamdulillah, Dok, seperti yang terlihat sekarang. Saya merasa jauh lebih baik dari kemarin." Abdul pun tak kalah khawatir saat melakukan pemeriksaan kesehatan Aliyah. Seandainya bisa, dia ingin penyakit itu menghampirinya saja, jangan bersarang ke tubuh sang putri.

"Alhamdulillah, kalau seperti itu. Obatnya masih kamu konsumsi, 'kan?"

"Iya, Dok."

Percakapan mereka berlanjut, pemeriksaan telah dilakukan sepenuhnya oleh Dokter Irma. Satu jam berlalu, keduanya pun keluar dari ruangan sang dokter. Wajah muram dan putus asa keduanya tampakkan. Hal itu pasti karena hasil pengecekan kondisi Aliyah yang semakin memburuk.

"Sabar, Nduk. Tidak ada penyakit yang tak mungkin bisa disembuhkan, asal kita mau berusaha. Kamu dengar perkataan Dokter Irma tadi, 'kan?" Abdul membesarkan hati putrinya. Sekalipun hatinya juga hancur mendengar vonis tadi, tetapi dia harus kuat di depan putrinya.

"Yah, masihkah aku akan sembuh? Kita tahu bagaimana seseorang yang terkena vonis penyakit satu ini." Kaca-kaca di kedua bola matanya jelas tampak.

"Sabar, ya, Nduk. Insyaallah, pasti ada jalan. Setidaknya sampai kamu bisa memberikan keturunan bagi suamimu. Itu, 'kan, harapanmu?" Di depan pintu sang dokter mereka berpelukan, saling menguatkan satu sama lain.

Tanpa mereka sadari, ada dua pasang mata yang mengamati. Mereka berdua heran, mengapa istri Haidar dengan seorang lelaki setengah baya berpelukan di depan ruangan dokter ahli onkologi. Pasti salah satu dari mereka ada yang sedang sakit.




***

Love you all 😘😘
Banyuwangi, 24 Januari 2021

Seindah Surga Yang Dirindukan (Tamat) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang