--Geminorum 31--

820 128 250
                                    

Pipi merah Aurora

_____

Aurora sampai di rumah tepat pukul sembilan malam. Gadis itu masih menggunakan seragamnya.

Aurora membuka pintu utama rumahnya dengan santai. Tanpa takut ia akan dimarahi.

Gadis itu dengan tenang berjalan melewati ruang keluarga, dimana sebuah keluarga kecil nan harmonis tengah menikmati acara televisi. Ia mulai melangkahkan kaki menaiki tangga.

"Aurora!" panggil seseorang dengan suara kecil nan tegas, namun Aurora masih dapat mendengarnya.

Aurora membalikkan tubuhnya. "Ya?" ujar gadis itu seakan tidak terjadi apa apa.

"Kamu dari mana aja baru pulang?" tanya pria paruh baya. Albert.

Seluruh makhluk hidup di ruangan tersebut menatap Aurora, tapi Aurora acuh saja.

"Dari rumah temen." Toh Aurora benar bukan? Bryan itu teman Aurora, status mereka masih berteman. Right?

"Rumah pacar kamu pasti." Itu bukan suara Albert, melainkan Adena.

Semoga aja, batin Aurora.

"Benar Aurora?" tanya Albert memastikan.

"Enggak. Aurora dari rumah temen," kekeuh Aurora.

"Bohong!" tukas Adena terkesan membentak. Aurora terperanjat. Semakin lama Mamanya semakin berubah. Adena sering marah hanya karena hal sepele pada Aurora.

"Mama, Aurora benar. Dia abis dari rumah temannya," ujar Blytha mencoba mendinginkan suasana yang tampak mulai panas.

Aurora menatap Blytha sebentar, lalu beralih pada Adena. Tidak percaya bahwa tadi yang membentaknya adalah Mamanya sendiri. Orang yang selalu menyayangi Aurora dengan penuh cinta, dulu.

Tidak ingin berlarut ditempat itu, Aurora segera melanjutkan langkah kakinya menuju kamar.

Setibanya dikamar, Aurora langsung membanting tubuhnya ke kasur. Menengadahkan kepala ke langit langit kamar.

Berkali kali ia menghela napas kasar. Ada beberapa kejadian yang membuat emosinya tidak stabil hari ini.

Marah melihat Blytha datang ke apartemen Bryan, tapi dilain sisi gadis itu tersipu mengingat kejadian yang ia alami di apartemen Bryan tadi.

CUP!!

Aurora tersentak, ia tersadar. Gadis itu buru buru mengubah posisi tidurannya menjadi duduk. Matanya melotot ke arah bibir Bryan.

Apa yang barusan gue lakuin, batin gadis itu sembari menggelengkan kepala tak percaya.

"First kiss gue!" gumam Aurora menyentuh bibirnya yang tadi dengan lancang mencium bibir Bryan. Walaupun hanya gumaman, namun Bryan dapat mendengar itu.

Jujur, Bryan memang kaget, tapi sedetik kemudian laki laki itu langsung menampilkan senyum miring.

Aurora menatap takut takut pada Bryan. Takut laki laki itu akan memarahinya. Ditambah lagi tatapan Bryan yang seakan siap menerkamnya seperti mangsa.

Prescience (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang