Dua belas

339 32 10
                                    

Pagi plus dingin, emang paling enak minun teh anget. Kayak Risa, setelah maksa Aoi dia pergi ke ruang TV untuk nyeduh tehnya. Entah emang bangunnya kepagian atau para penghuni rumah ini yang pada kebo Risa nggak tahu, tapi waktu dia duduk di sofa ruang TV sama sekali nggak ada orang. Padahal udah jam 8 pagi loh.

Dia hidupin itu TV yang gedenya minta ampun terus nge-teh sambil nyemil makanan yang disediain di meja. Nggak tahu punya siapa. Di pencet-pencet tombol remot sampai ngulang di nomor yang sama hingga beberapa kali. Karena nggak ada acara yang seru, Risa matiin TV-nya dan pergi bawa teh hangatnya keluar rumah.

Udara di pagi hari yang segar jadi kenikmatan tersendiri kalau nyesap teh sambil bernafas dengan oksigen yang ia hirup. Hingga di daun pintu Risa berhenti sejenak. Dilihatnya ada seorang manusia yang kayaknya pernah dia kenal sedang olahraga.

Ditaruhnya teh yang dia tenteng tadi di meja luar kemudian ngehampirin orang itu. Mungkin karena terlalu fokus kali ya, sampai nggak sadar kalau Risa anteng ngeliatin. Sampai akhirnya si dia berhenti karena gagal dalam lompatannya.

"Lompat tali?" Dia kaget karena tau-tau ada orang disini, "Boleh pinjam?"

"Boleh."

Risa ngambil tali tersebut kemudian ngelompat dengan cepatnya. Nggak cuma sekali putaran, dia lompat tali pakai 2 putaran. Yang punya tali kaget plus kagum, selain dia ternyata ada juga yang bisa main lompat tali pakai teknik yang sama.

Risa berhenti, lalu nyerahin tali tersebut.

"Kereeen, saya kira cuma saya yang bisa." Ucapnya sambil ketawa sampe tepuk tangan kecil. Risa cuma diam doang. "Kamu bisa lompat tali dari kapan?"

"Terakhir main SD."

"Eh? Tapi masih bisa gitu, padahal udah lama nggak main lompat tali."

"Reflek, mungkin."

Dia ngangguk-ngangguk kemudian duduk di teras. Disekah keringat yang ada di wajahnya tersebut pakai handuk yang ia taruh dekat situ.

Risa masih berdiri kayak orang bodoh. Dia tuh masih ngingat-ngingat nama orang ini. Siapa ya, kenapa bisa lupa namanya astaga.

"Hmmm, nama..." Ucapan Risa agak keras. Si dia noleh.

"Maaf?"

"Nama..." Risa nunjuk pakai jarinya.

"Saya? Nama saya Kobayashi Yui. Padahal udah pernah nanya."

Teteh Kobayashi Yui itu ketawa. Entah hawa pagi ini yang emang sejuk atau apa, tapi gelak tawa mbak satu ini seger banget liatnya. Jadi adem.

Sekarang Risa baru ingat. Ini gadis yang waktu itu di kejar sama stalker kan? Yang minta tolong pura-pura jadi temannya.

"Jadi amplop yang itu..." Risa emang sengaja banget gantungin ucapannya. Bingung dia tuh manggilnya gimana. Pakai aku-kamu kesannya kayak pacaran, pakai lo-gue ngerasa nggak sopan.

"Oh iya, saya baru ingat." Si Kobayashi Yui berdiri, "Itu untuk ganti uang kamu malam itu. Kamu nggak di rumah makanya saya titip ke teman kamar kamu." Jelasnya.

"Bentar." Risa lari sekencang mungkin. Nggak lama dia balik lagi bawa amplop yang dimaksud. "Nggak usah diganti." Dia nyodorin benda putih berisi uang tersebut.

"Ambil aja, ucapan terimakasih."

"Nggak usah. Lagian nominalnya sedikit kalau tanda terimakasih." Canda Risa. Untungnya si mbaknya ketawa, padahal udah was-was kalau ternyata candaan dia terkesan merendahkan.

"Jangan, saya nggak enak kalau uangnya diambil lagi. Buat kamu aja."

Risa natap amplop tersebut kemudian mikir sejenak, "Udah sarapan belum? Kalau belum ayo makan pakai uang ini." Risa bisa lihat kalau Kobayashi ini geleng-geleng kecil.

Saku HouseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang