"Aku bisa apa? Aku menengadah, dia menangkupkan tangan. Nggak akan pernah mulai, kan udah selesai."
-Senandika Nadta-
Happy Reading!!!
.
.
.Hima memandangi gedung-gedung tinggi dari balik kaca mobil, rintik hujan seakan malu-malu membasahi tanah Jakarta pagi ini, hawa mendung membuat suasana hati wanita berbadan dua itu melankolis.
"Seharusnya aku tak mengikuti kelas senam hamil lagi," gumamnya sangat lirih hingga Hamispun yang berada di sisi kemudi tak dapat mendengar penyesalan sang adik.
Sembari mengusap lembut perutnya yang membuncit, mulut itu tak berhenti merapalkan istighfar, mengulangi surat Al-fatihah yang ia hapal.
Perempuan itu nyatanya tak nyaman karena sudah sejak seminggu ini instruksi senam meminta agar setiap ibu hamil di dampinggi oleh suami masing-masing, karena sudah memasuki bulan kelahiran guna membangun keharmonisan antara calon Bunda dan Ayah, juga untuk merilekskan ibu hamil supaya lancar menghadapi proses persalinan.
Hima menoleh ke arah Hamis yang sibuk menyetir namun juga fokus dalam obrolan telepon. Hima ingin meminta agar Hamis mendampinginya kali ini saja namun melihat wajah Hamis yang tegang karena sibuk mengurusi pekerjaan membuatnya enggan, kadang ia merasa malu ketika setiap pasangan menatap kasihan kepadanya, atau pertanyaan dari instruksi yang seakan membuat hatinya teriris. "Lho Ayahnya nggak bisa nemenin lagi? Sibuk banget ya Ayahnya."
Sekiranya Hima mau, ia ingin sekali berteriak di depan instruktur jika ia calon janda, namun Hima masih mempunyai rasa malu yang cukup besar bahkan untuk menjawab pertanyaan dari instruktur ia hanya bisa tersenyum dan mengangguk.
Wajah cantik itu nampak layu, melihat setiap pasangan yang melakukan senam bersama, setiap ibu hamil yang berada di ruangan itu nampak bahagia dengan senyum tulus suami masing-masing, suami memiliki tugas dibelakang tubuh membantu menjaga keseimbangan istrinya.
Lihatlah Hima, netra wanita itu bahkan terlihat berkaca-kaca. Ia melakukan sendiri setiap kata yang keluar dari sang instruksi.
"Sekarang, Ayah pegang perut Bunda kemudian lakukan gerakan memutar secara halus. Yok satu ... dua ... tiga ... "
"Bunda tarik napas, kemudian hembuskan perlahan. Lagi ... tarik napas, buang, tarik napas ... buang."
Senam hari ini terasa sangat lama, setelah selesai Hima ingin segera sampai di rumah, ia ingin mengistirahatkan badan juga fikirannya. Lama wanita itu menunggu jemputan, peluh membanjiri kening. Sialnya lagi ponselnya mati, sehingga ia tidak bisa menghubungi Hamis.
Hima berjalan gontai menelusuri trotoar pejalan kaki, dengan sabar ia ingin mencapai halte yang berada tak jauh lagi.
Tin! Tin! Tin!
Bunyi klakson yang mengganggu telinga membuat Hima harus menoleh ke samping.
"Arsel?"
"Hima? Kamu Hima kan? Dari mana Him?" Arsel bertanya cepat, melihat keadaan Hima sekarang tak ayal membuatnya panik. Bibir Hima sedikit memucat, wajah putih itu terlihat sangat letih.
"Ayo-ayo masuk," pinta Arsel. Lelaki itu turun dari mobil membukakan pintu sebelah kemudi, mempersilakan wanita yang masih terikat dengannya itu untuk masuk.
"Ehm!" Arsel berdehem mencoba menghilangkan rasa gugupnya, ia merasa bersalah setiap melihat wajah Hima. Arsel teringat setiap kali Hima menangis karena ulahnya, bagaimana Hima sangat rapuh dan hancur pada saat itu masih teringat dibenaknya. Cukup menyayat hati mengingat kekejamannya pada perempuan yang sangat mencintainya dengan tulus.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pelakor Sosialita
RomanceHima seorang model kenamaan harus menelan pil pahit kala ia mengetahui jika sang suami Arsel masih berhubungan dengan pacarnya, Karin. Haruskah Hima bertahan? Atau melepaskan cinta pertamanya? Cerita ini adalah tentang hati yang harus memilih antara...