Our Hurts

10.4K 570 27
                                    

Happy Reading!!!
.
.
.

"Nggak ... nggak mungkin ini pasti salah." Karin menggeleneg tak percaya menatap nanar surat keterangan yang sejak dua jam lalu ia terima dari dr. Kartina, Sp.OG, M. Kes, dokter spesialis kebidanan dan kandungan.

Pagi ini ia memberanikan diri, karena sudah seminggu ia mengalami sesuatu keanehan dalam diri. Seperti mual di saat pagi, pusing dan kram perut dan ternyata apa yang ia pikirikan memang benar adanya, jika ada nyawa lain yang sekarang bersemayam dalam rahimnya. Ntahlah ia harus bahagia atau malah sedih karena di saat seperti ini ia harus sadar jika Arsel bukan miliknya dan ia juga harus memikirkan calon anaknya kelak ketika tumbuh dewasa. Karin butuh ikatan yang jelas baik di mata negara atau agama.

Antara ingin pergi dengan membawa keegoisan diri yang menjadi-jadi atau menekan kuat ego dan menetap meskipun dengan pasrah ia yakini perasaan sakit hati akan ia rasakan setiap hari.

"Ya Tuhan ...  ini aku harus bagaimana?"

Ia teringat Arsel, Hima, keluarga Obrian, juga kini nyawa yang ada di dalam perutnya.

Ia juga tidak menampik bagaimana jika ia menekan egois yang besar, apa yang terjadi pada Hima? Karin juga memikirkan Hima. Meskipun setiap orang akan memandang posisinya yang salah.

Apa ia harus mengalah. Membesarkan sendiri dan menjalani kehidupan baru tanpa ada Arsel? Hei!  Arsel kekasihnya dan anak yang kini ia kandung adalah buah cinta keduanya.

Tapi ia punya apa? Semenjak biaya hidup ditanggung oleh Arsel sang kekasih, ia memutuskan untuk resign dari pekerjaan awal dan menggantungkan diri kepada Arsel yang nyatanya bukan hanya miliknya seorang. Karin mencintai orang yang sudah bersuami, bagaimana dendamnya telah membutakan ia yang telah melangkah sejauh ini,  dendam masa SMA yang sakitnya masih ia rasa.

Apakah jika ia menghikangkan nyawa anaknya ini akan ada sebutan "pembunuh" yang melekat pada dirinya? Demi apapun Karin membenci kehidupannya yang kini penuh dengan drama.

Salah mengambil keputusan maka dapat dipastikan jika ia akan menyesali seumur hidup. Namun, Karin yakin setiap cobaan pasti ada jalan yang diberikan.

"Hima ... maaf 'kan aku. Jika ini memang jalannya. Maaf 'kan aku ... maaf," lirih Karin. Memejam kuat menekan tangisannya.

***

Lagi-lagi kendala pembangunan hotel di Gianyar menjadi salah satu alasan kenapa ia harus kembali ke kantor. Ia tidak bisa limpahkan begitu saja kepada Gio karena memang penangung jawab terbesar disini ialah dirinya.

"Jadi gimana?" tanya Arsel meminta penjelasan megenai perkembangan pembangunan hotel di Gianyar.

Beberapa pasang mata menatap dirinya dengan pandangan heran, karena ia memutuskan dari mall langsung ke kantor dengan pakaian tidak seperti pada umumunya orang ke kantor, Arsel masih mengenakan kaos pendek berwarna hitam yang dipadukan dengan celana jeans biru. Jauh sangat santai dari biasanya yang selalu memakai kemeja yang dibalut dengan jas.

"Kemungkinan besar anda harus terbang ke Gianyar, bagaimanapun juga ini kasus yang cukup penting, jika pembangunan ini diberhentikan maka sudah jelas kerugian yang diterima perusahaan kita," ucap Gio.

Arsel memandangi surat keputusan dengan tatapan sulit diartikan. Lembaran kertas putih yang tergeletak di meja kebesarannya itu berisi berbanding terbalik dengan apa yang ia pikirkan.

"Kapan?" tanya Arsel. Ia memijat pelan pangkal hidung.

"Mengenai itu nanti akan saya hubungi segera. Saya juga akan menyiapkan berkas-berkasnya terlebih dahulu."

Pelakor SosialitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang