Perfect Girls?

14.2K 803 22
                                    

Happy Reading!!!
.
.
.

-Ketika kamu ingin menyuarakan keadilan. Namun, kamu sendiri terkekang oleh ketidakadilan-
.
.
.

"Kenapa Sel, kenapa kamu seolah mengemudikan hidupku? Seakan-akan cuma kamu yang berhak ngatur, aku juga punya kebebasan Sel! Kenapa?" Tanya Hima dengan nada penuh tekanan.

"Apapun yang kamu putuskan Hima. Aku punya kunci matimu."

"KUNCI MATI APA?!" Teriak Hima frustrasi, tangannya terkepal kuat, bibir berwarna merah muda alami itu berkedut, seakan tak dapat lagi ia mengungkapkan perasaannya.

"Silakan kamu bisa bebas! Kamu bisa lepas, tapi ingat aku pastikan nama Himameswari kotor di depan publik." Arsel menekan kata terakhir mencoba mengancam dengan ide liciknya, karena hanya itu yang dapat ia lakukan.

"Kamu mengancamku?" tanya Hima tak percaya.

"Hima yang berkoar-koar tentang keadilan. Hima yang selalu menjunjung tinggi hak-hak perempuan, Hima yang dijadikan role model bagi perempuan milenial, Namun Hima adalah Hina! Perempuan yang tak tau diri, sorry ... maksudku tak punya harga diri. Dibalik nama besarnya yang selalu mengaung baik ada perbuatan tercela yang mungkin saja tak pantas jika kamu dijadikan role model."

"Maksudmu?" Hima semakin binggung dengan arah pembicaraan suaminya.

"Hey, lupa? Sebelum kita resmi menjadi pasangan sah. Kamu telah menawarkan tubuhmu padaku bahkan kita dulu masih menginjak bangku SMA, apakah pantas? Menjijikkan bukan?" Arsel tersenyum remeh. Ia yakini jalan yang diambilnya dapat mengubah keteguhan Hima untuk bercerai. Jujur dalam lubuk hatinya, Arsel bahkan tak ingin ia mengucapkan kalimat ini. Namun tak ada pilihan lain selain mengancam Hima ia tahu betul Hima memiliki segala pemikiran yang bahkan Arsel sendiri tak bisa mengehentikan.

Apapun yang dikatakan Arsel barusan adalah hal bejat. Ia berusaha mengungkit masalalu yang bahkan Hima sendiri masih berusaha melupakan. Namun, begitulah Arsel ia tak ingin kehilangan Hima, Hima adalah miliknya ia tak ingin melepaskan begitu saja.

Hima menatap Arsel. Tatapan sendu, wanita itu menunduk malu, bahkan untuk mengangkat pandangannya di depan Arsel. Hima begitu menjijikan kah di depan suaminya?

Hima terdiam, ia tidak punya lagi alasan untuk membela diri, ia ingat betul bagaimana kejadian enam tahun silam.

"Habis ini. Bagimana kalau kita ke toko buku, buat persiapan ujian," ucap Arsel pada Hima.

Gadis dengan surai berwarna cokelat gelap itu mengangguk setuju. Bagaimana bisa ia menolak permintaan dari Arsel, lelaki yang ia taksir sejak awal dirinya masuk ke SMA.

"Sekarang aja gimana?" tawar Hima ia menoleh sekilas ke arah jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. "Masih sempat, ayo! Ini ada meet up sama penulis buku favorit aku Sel."

"Ayo sih ... tapi kamu nggak bilang ortumu dulu?" Heran Arsel.

Hima menggeleng. "Nggak perlu, Papa nggak ngurusin aku lagian."

Arsel yang waktu itu merupakan ketua sekbid satu dalam masa pengenalan lingkungan sekolah. Harus berurusan dengan Hima karena peraturan yang sudah ditetapkan dilanggar.

Pelakor SosialitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang