Happy Reading!!!
.
.
.Hima menatap nanar lampiran kertas putih dihadapannya, ketika ia telah melabuhkan tanda tangan maka surat itu bisa dikatakan sah.
"Kak Hamis ...." lirih Hima.
Hima menghela napas panjang. Memejam mata merasakan sekat sesak yang menjalar dada seakan-akan langit ruangan rubuh dan menimpanya sendiri.
Ini sulit bagi Hima semesta menginginkan ia berpisah secara paksa. Jujur Hima masih mencintai Arsel, namun cintanya telah ditutup oleh perasaan benci. Kebencian Hima yang melebihi dari rasa yang ia anggap sebagai pembodohan diri."Masih banyak di luar sana orang yang menyayangimu. Jika pun itu tidak maka kamu lah yang harus menyayangi orang yang butuh kasih sayangmu, jangan bersedih Hima. Ini yang terbaik," nasihat Hima kepada diri sendiri bermaksud menguatkan.
Melepas Arsel sama saja melepas separuh nyawanya.
Hima butuh waktu.
Tangannya gemetar ia menghela napas panjang saat tanda tangannya telah tertoreh sempurna.
Selesai. Kini bisa Hima katakan hubungannya dengan Arsel selesai sampai di sini. Ia tak mau lagi melukai hati yang telah remuk oleh cinta sepihaknya.
Tak lama pintu ruangannya diketuk dari luar.
"Masuk," ucap Hima.
Hima menoleh sekilas jam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Jam makan siang, Wahyu pasti akan ke mari hanya untuk menanyakan mau menu apa hari ini atau mau dibelikan apa?
"Aku ga mau makan Wahyu, kamu bisa istirahat sendiri," ucap Hima tanpa menoleh sedikitpun.
Hima memutar kursi berbalik memunggungi. Menyandarkan tubuh mungilnya ke kursi kebesaran sang Papa menghadap kaca besar yang menghubungkannya dengan pemandangan ibu kota di siang hari.
Terik, panas, padat. Begitulah gambarannya.
"Kenapa tidak mau makan?" baritone itu Hima mengenalnya dia bukan Wahyu melainkan Arsel.
Hima tidak mengubah posisinya. Ia menutup kelopak mata. Berpura-pura tidur bukan ide buruk ia tidak ingin berurusan dengan Arsel lagi.
"Apa kamu selalu mengabaikan makan siangmu? Kau sendiri tidak peduli dengan kesehatan," ucap Arsel.
Tidak ada sahutan.
"Jangan pura-pura tidur Hima. Aku tau kau sedang menghindariku."
Hima menyerah. Ia memutar kursi menghadap pria dengan netra berwarna cokelat terang di hadapannya.
Arsel melangkah mendekat dan meraih kertas yang menarik atensinya sejak tadi. Surat perceraian.
"Kamu sudah menandatangani. Secepat itukah Hima? Apa kau ingin kita benar-benar berpisah?" tanya Arsel tak percaya.
Jauh di dalam sana ada perasaan tak rela yang menghinggap di relung batin Arsel. Ia saja menyuruh Gio untuk mengurus ini semua bukan karena ia sibuk. Bisa saja ia melakukannya sendiri, namun rasa tak ikhlas itulah yang menyebabkan Arsel urung.
"Itu kemauanmu bukan?"
"Hari ini aku batalkan perceraian kita, tidak ada cerai. Kita tidak akan berpisah," ujar Arsel serius.
Sedangkan Hima ia terkejut bukan main. Apakah pria di depannya kini benar-benar tidak waras?
Semudah itukah ia memegang kendali atas dirinya Arsel benar-benar dominan.
Hima membolakan kedua mata menatap Arsel tak percaya.
"Aku benar-benar serius Hima." Arsel memperlihatkan kertas itu yang sudah berubah menjadi dua bagian.
"Biarkan aku lepas Arsel," pinta Hima sorot matanya meredup.
"Tidak. Tidak akan. Jangan berharap Hima, aku mencintaimu," aku Arsel. Dia memang tipikal pria to the point.
"Jika itu maumu, maka lupakan Karin."
Arsel menggeleng cepat. "Tidak semudah itu."
"Jangan egois, Tuan Obrian," ucap Hima menekan kata Obrian.
"Aku tidak naif Hima. Aku mencintaimu sangat, tapi disisi lain aku juga mencintai Karin. Aku tidak tau kenapa aku menjadi seperti ini yang jelas aku tidak ingin kehilangan kalian."
"Jangan bersikap egois, Sel."
"Maaf. Sepertinya kau sedang tidak baik, bagaimana kalau kita makan siang bersama?" tawar Arsel.
Hima berdecak kesal. Arsel memang pandai mengalihkan topik. Membuat seakan-akan pembicaraan tadi hanyalah obrolan biasa yang bisa diselingi canda.
Hima tidak menjawab. Namun lelaki itu kini malah menarik tangannya dan memaksanya untuk berdiri.
"Temani aku makan siang," pinta Arsel. Sebenarnya kemauannya bisa lebih tepat dikatakan sebagai sebuah perintah.
Sekalipun Hima memaksa untuk menolak maka Arsel akan melakukan seribu cara agar Hima mau.
"Wahyu!" Teriak Hima memanggil nama Wahyu. Berharap asitennya itu mampu untuk mengusir Arsel. Janji ia akan memberikan kenaikan gaji jika memang asistennya yang kompeten itu berhasil.
Tak lama Wahyu memasuki ruangan ia berdiri kikuk menatap Arsel dengan senyum tipis.
"Mobil sudah dipanaskan," ucapan Wahyu membuat Hima menganga tak percaya.
"Mari ikut denganku. Jika tidak bisa kupastikan jika besok kau tak lagi berada di naungan Our!Look."
Sudah tidak ada pilihan bagi Hima. Ia mengikuti tubuh tegap itu, melangkah meninggalkan ruangan.
Sebelum itu Hima melewati Wahyu. Ia juga memperlihatkan tatapan yang bisa membuat Wahyu bergidik ngeri.
"Ngapurone Mbak Hima ... ngapurone," pinta Wahyu dengan logat Jawa. Melihat majikannya seperti itu membuat Wahyu tidak tega. Namun bagaimana lagi? Ketika pria arogan bernama Arsel telah mengancam ia tak bisa berbuat apa-apa, bahkan untuk membantu bosnya sendiri.
.
.
.
To be continue!!!
KAMU SEDANG MEMBACA
Pelakor Sosialita
RomanceHima seorang model kenamaan harus menelan pil pahit kala ia mengetahui jika sang suami Arsel masih berhubungan dengan pacarnya, Karin. Haruskah Hima bertahan? Atau melepaskan cinta pertamanya? Cerita ini adalah tentang hati yang harus memilih antara...