Day (Two)

11K 604 36
                                    

Happy Reading!!!
.
.
.

Malam ini diwarnai dengan hujan gerimis, sebagian penduduk bumi menganggap gerimis itu romantis atau banyak juga yang menganggap gerimis dapat membuat hati merasakan kedamaian. Setiap bunyi dari tetesan airnya membuat pikiran Hima melalang buana. Nyatanya gerimis kali ini tidak bisa menenangkan hatinya yang tak karuan.

Setiap sudut ruangan seperti sedang menampilkan scene film yang terus memutar kejadian antara dirinya, Arsel, dan Karin selama ini.

Rasanya Hima ingin kali ini saja kehilangan ingatannya, ia tidak ingin menjadi dirinya sendiri, ia ingin melebur menjadi sosok lain yang tak pernah merasakan sakitnya luka penghiantan cinta.

Jika saja Tuhan mendengarkan pintanya, maka ia ingin Tuhan menghanguskan perasaan yang disebut "Cinta" dalam dirinya.

Sepasang sandal berbulu berjalan tersendat, sedikit memaksakan menyeret tubuhnya yang terlihat sangat ringkih. Langkah itu terlihat terseok-seok tak bertujuan. Langkah penuh beban dan penderitaan seolah berton-ton masalah tengah membebani raganya. Hima melangkah tanpa arah. Sembari terisak langkahnya kian pasti menyusuri lorong hotel.

"Hiks ... Aku harus bagaimana? Apa salahku? Kenapa aku harus menerima semua ini?" rancaunya.

Wanita itu berpikir jika sang pencipta tengah menghukumnya karena kesalahan di masa lalu.

"Mama ... pulanglah ke Indonesia," suara itu terdengar amat menyedihkan.

Hima bak seorang anak yang kehilangan jalan pulang karena tertinggal oleh sang Ibu. Anak kecil malang yang tidak tahu lagi harus meminta bantuan pada siapa.

"Papa ... Nenek ... Kakak ... hiks ... hiks," nyaris semua keluarga yang pernah dekat dengannya ia panggil, seolah mereka yang terpanggil akan mendengar suaranya yang lemah itu, kemudian menolongnya dan mengobati lukanya bersama-sama.

Satu tangannya terulur menyentuh perut yang masih nampak datar itu, ia teringat sesuatu.

"Anakku ... hiks."

Lagi dan lagi liquid bening itu keluar, seolah tengah berlomba-lomba. Begitu deras hingga tetesannya membasahi pipi putih itu.

"Apa salahku Tuhan! Kenapa kau menghukumku, ini sakit sekali .... "

Tangannya meremas bagian dadanya begitu erat, berharap sakit yang mengorek di dalam dada sedikit hilang.

Sesakit inikah rasanya mencintai seseorang yang cintanya terbagi? Apa begitu lancangkah dia karena berani mencintai Arsel? Sehingga inilah balasannya. Seharusnya ia sadar ... perempuan sepertinya tak pantas mendapat kebahagiaan.

"Kuatkanlah Bunda, Sayang," ucap Hima parau.

"Kenapa hidup ini begitu kejam kepadaku?"

Wahyu, lelaki yang baru saja menginjakkan kakinya di lantai 6, panik saat melihat Hima berjalan tanpa arah mendekati balkon. Udara malam ini sangat dingin, di luar hujan petir tengah mengguyur kota Surabaya.

Plastik yang berisi belanjaan yang baru ia beli di mini market itu Wahyu buang begitu saja. Tubuhnya gesit berlari hendak menggapai lengan Hima yang kini semakin dekat dengan balkon.

Wahyu begitu takut ...
Ia bahkan sangat merutuki dirinya tatkala tubuh ringgkih itu terkena cipratan air hujan.

"HIMA!"

Grep!!!

Wahyu menarik tubuh itu dalam rengkuhannya. Memutar badan, kini punggungnya yang terkena cipratan air hujan.

Pelakor SosialitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang