Perempuan dan Peradaban

9.8K 620 27
                                    

Happy Reading!!!
.
.
.

Arsel tiba di lokasi yang sudah di sepakati, temaram lampu jalan menerpa wajah dengan rahang tegas yang kini nampak risau mengamati arloji yang melingkar apik di pergelangan tangan. Arsel berputar, mencari orang yang berjanji dengannya. Hingga sebuah tepukan didapat di bahunya.

Arsel menarik napas lega, Wahyu orang yang ditunggunya telah datang. "Aku tau kau tak pernah ingkar janji Wahyu." Arsel tersenyum tipis dan dibalas dengan anggukan kepala dari Wahyu.

"Tentu saja aku menepati janjiku, ada yang ingin kau bicarakan bukan?"

"Iya," jawab Arsel dengan nada penuh keputus asaan.

Keduanya duduk di kursi panjang, menghembuskan napas panjang Arsel memulai percakapan.

"Sebenarnya aku bisa mengatakan ini dengan sangat ikhlas namun itu dulu dan sekarang aku benci mengatakan ini sejujurnya, tapi tidak ada pilihan lain selain melepaskannya." Arsel menjeda ucapannya menunggu reaksi Wahyu.

"Maksudmu ?" tanya Wahyu.

"Karin juga tengah mengandung." Kedua netra itu terlihat sayu.

Seketika Wahyu berhenti benapas untuk beberapa saat ingatannya kembali pada Hima.

"Bagaimana keadaan mereka?" tanya Wahyu dingin. Entah kenapa ia merasa kesal sendiri.

"Sehat."

"Bagaimana dengan Hima? Apa kamu tidak mencintainya ? Dia juga tengah mengandung bayimu apa kau tidak menyayangi mereka ?" Wahyu memberondong Arsel dengan pertanyaan.

"Aku mencintainya."

Wahyu menggeleng pelan. "Kamu salah, dia yang lebih mencintaimu."

"Bisakah kau menjaganya untukku?" Mata itu bergerak gelisah.

Wahyu menggeleng pelan, "Jangan jadi pengecut seperti ini. Aku mohon ... kamu telah melukai dua hati."

Melukai dua hati, kata-kata Wahyu memang terdengar biasa namun ada makna dalam yang tersirat. Hati yang ia maksud adalah hati Hima dan tentunya hatinya.

"Hormati dia sebagai perempuan, kamu tau kan? Hima terlahir dengan kasih sayang seadanya. Bayangkan kamu telah melukai hati perempuan yang tak pernah---" Wahyu tidak melanjutkan ucapannya, jujur ia tidak sangup.

Lelaki itu takut Hima akan menjadi Hima yang rapuh lagi, senyuman perempuan itu akhir-akhir ini terlihat lagi dan ia tak mau senyuman itu luntur kembali.

"Percayalah padaku, dia sangat mencintaimu. Kembalilah padanya aku mohon." Wahyu berlutut di hadapan Arsel. Ia telah menaggalkan rasa hormatnya demi perempuan yang ia sering ia sebut namanya dalam sujud agar selalu diberi perlindungan oleh-NYA.

Arsel meraih bahu Wahyu, "Jangan seperti ini kembalilah ke posisi semula."

"Dengarkan Yu ... duduklah sini," pinta Arsel ketika Wahyu masih tak beranjak sedikitpun.

"Wahyu," panggil Arsel lagi.

Wahyu bangkit dari posisinya dan kembali duduk.

"Aku tau kamu mencintainya, mencintai istriku," ucapan Arsel membuat Wahyu membolakan kedua mata. Lelaki itu menggeleng cepat mengelak pernyataan yang diucapkan oleh Arsel.

"Tidak."

"Aku tau dari tatapanmu, kita sesama lelaki dan aku paham."

Arsel menunduk dalam, "Seandainya waktu bisa kuputar. Seandainya aku tak melakukan semua ini, Wahyu ... sungguh aku mencintai Hima maka dari itu aku akan melepaskannya."

Pelakor SosialitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang