Keputusan

13.6K 665 25
                                    

Happy Reading!!!
.
.
.

Di tengah perjalan menuju pulang setelah dari bandara Internasional Soekarno Hatta, lagi-lagi aku dibuat heran dengan ucapan Arsel yang menginginkan rujak, karena keinginannya itu jadilah kami berdua di sini, warung rujak Mbak Idah di bilangan Jakarta pusat. Rujak di sini memang terkenal dengan cita rasa sambalnya yang pas, juga harga yang murah meriah.

Dua porsi rujak telah siap, Arsel sangat bersemangat menikmati rujak buah ini bahkan ia juga memakan bagianku yang tersisa. Tak menampik aku bahagia melihatnya, calon ayah, meskipun bukan aku calon ibunya.

Mungkin saja bayi Karin sedang ngidam makan rujak oleh karena itu ayahnya lahap sekali, padahal Arsel tipikal orang yang tidak terlalu suka buah apalagi yang kecut-kecut. Ah! Seandainya aku berada di posisi Karin.

Refleks tanganku mengelus perut datar ini memutar-mutar pelan di sana. Berimajinasi menjadi ibu yang tengah mengandung bayi tidak ada salahnya bukan?

"Enak nggak?" tanyaku pada Arsel yang kini sibuk menatap jalanan kota.

Ia mengangguk seulas senyum terbit di bingkai wajahnya. "Enak, numben ya ... rasanya seperti orang ngidam. Pagi-pagi malah pingin makan rujak, atau jangan-jangan kamu hamil ya?"

Deg!!

Ya Tuhan! Bahkan ia mempunyai firasat yang pas. Namun, bukan aku melainkan Karin. Pandanganku mulai buram sial! Aku menangis? Segera aku membuang muka menghadap kemana pun itu asal bukan iris cokelat terang yang kini menatap penuh harap padaku.

Aku ingin berteriak menjelaskan apa yang aku rasakan padanya, mengeluarkan isi hati agar ia tahu bagaimana sakitnya di posisi ini.

Namun aku menunggu ia mengakui kesalahannya. Aku memang belum menceritakan perihal Karin yang bertamu dengan kasus kehamilan wanita itu. Aku hanya ingin Arsel yang mengatakan jujur padaku.

Setelah menikmati rujak, kami bergegas kembali ke rumah. Aku menguatkan hati, hari ini aku akan mengatakan padanya, keputusan ini sudah jelas aku yang akan mundur. Lagi pula aku tidak ingin melihat tangisan seorang anak yang membutuhkan sosok ayah. Lebih baik Karin yang bertahan, sedangkan aku entahlah ... namun aku masih mempunyai impian, jika aku tidak menemukan kebahagiaanku di sini mungkin saja Tuhan telah menyiapkan kebahagian di tempat lain, karena hari ini Arsel memutuskan untuk bekerja di rumah, membawa pekerjaan di kantor untuk dikerjakan sekarang ia tengah fokus di dunianya, ruang kerja.

Di tanganku telah tersaji satu cangkir teh untuk menemaninya bekerja. Sebenci apapun aku padanya sekarang, tapi demi Tuhan teh ini tidak aku campur dengan sianida. Setelah itu segera kubawa menuju ruangannya yang masih berada di lantai dua. Aku berharap teh ini mampu mendinginkan susana hati, menetralkan emosi, juga membuatnya semangat.

Setelah mengetuk beberapa kali daun pintu dan Arsel telah mengijinkanku untuk masuk. Segera aku meletakkan teh di meja kecil dekat rak buku. Aku mengambil duduk di sofa dan memintanya untuk duduk di sampingku.

"Arsel, sini." Aku menepuk beberapa kali bagian sofa yang kosong.

"Iya," jawabnya sembari menyeruput teh buatanku dan berjalan mendekat. Aku tersenyum tipis saat ia telah mendaratkan bokongnya. Meletakkan teh di meja kaca kemudian berbalik menatapku dengan sorot bertanya "ada apa?" dengan alis kanan yang meninggi.

Aku meraih tangannya mengengam dan menciumnya sekilas. "Arsel ... Aku minta maaf untuk segalanya, aku berterima kasih untuk segalanya." menjeda sebentar. "Kita menikah dengan cara baik-baik ... dan aku berharap kita pisah dengan cara baik-baik pula."

"Pisah? Maksud?" potongnya.

Aku memberanikan diri mentap dalam iris cokelat terang miliknya. Mata itu yang dulu pernah menatapku penuh damba di atas altar dimana ia mengucapkan janji suci pernikahan. Aku ingat dengan jelas saat Arsel mengucapkan janji itu dengan wajah serius penuh kesungguhan. Di wajah tampannya juga ada kebahagiaan yang terpancar.

Pelakor SosialitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang