Broken Heart

13K 661 28
                                    

Happy Reading!!!
.
.
.

Hari ini aku perlihatkan luka yang belum sembuh sempurna. Kututupi dengan kata agar semua tahu bahwa aku tegar setelah dia memilihnya. Lidahku kelu tuk mengucapkan.

Apa aku bisa bisa disebut tegar, ketika aku mampu untuk tidak mengutarakan kata bahwasanya aku tidak baik-baik saja ?

Apa aku pantas disebut kuat, saat aku mampu mengikhlaskan?

Aku akan menjadi diriku sendiri, inilah aku dengan segala kekurangnku, aku tanpa dia aku tidak akan mati, dia tidak bersamaku toh aku juga masih bisa bernapas.

Saat mimpi itu datang seraya Tuhan berbisik "Lepaskan dia, aku akan mengantinya kelak yang lebih baik"

Keadaanku hari ini sudah lebih baik dari  kemarin. Rumah ini terasa sepi, sang kepala rumah tangga entah pergi kemana. Nyatanya sendiri tidak buruk juga tidak bisa dibilang cukup baik.

Wahyu bilang pukul 08:15 sudah di tempat, namun nyatanya lelaki itu belum menampakkan batang hidung, Sesekali aku menekan icon bergembar telelepon mencari kontak nomor Wahyu sekadar untuk memanggil kemudian mematikan panggilan.

Aku mengelus perutku. Menyapa nyawa lain yang tengah bergelung nyaman di sana. Titipan Tuhan yang membuatku menjadi lebih semangat untuk menjalani hidup. Aku bangga padanya, dia kuat sekali dan mengerti jika ibunya sedang tidak baik-baik saja. Aku tidak mengalami morning sickness yang biasanya dialami oleh bumil di trimester pertama. Dia juga tidak menginginkan sesuatu yang aneh-aneh, rasa-rasanya aku ingin sekali melihat wajahnya yang menangis lucu karena minta mainan. Ah! Membayangkan saja membuatku sebahagia ini.

"Sebentar lagi Kak Wahyu datang. Dia pasti akan membelikanmu bubur kacang ijo. Sabar ya," ucapku sendu. Nyatanya aku tidak munafik jika aku juga butuh sosok Arsel. Sebagai suami siaga dan calon ayah yang baik bagi calon anak pertama kami.

Sembari menunggu kehadiran Wahyu aku putuskan untuk berjalan-jalan di halaman kompleks. Mencari udara segar.

Setelah merasa sedikit lelah aku duduk di kursi panjang. Sekarang aku berada di taman mini kompleks yang berjarak kurang lebih 100 meter dari rumah. Taman ini dibagi menjadi dua bagian, sebelah timur khusus untuk penjual keliling dan beberapa kedai tetap seperti mie ayam, bakso, soto, dan nasi uduk sedangkan bagian barat dikhususkan untuk tempat santai. Biasanya ketika sore hari taman ini dipadati oleh anak kecil yang bermain sepeda. Di taman ini juga tempat aku dan Arsel menghabiskan waktu pulang sekolah dulu, tempat ini adalah tempat kencan pertamaku bersamanya sewaktu SMA.

Dering telepon membuyarkan ingatanku akan kenangan tempat ini. Cukup terkejut saat tertera nama Gio di layar. Bukannya dia tangan kanan Arsel? Tumben sekali menelepon.

Segera aku menggeser panel telepon ke atas. Mendekatkan ke telinga setelah panggilan benar-benar tersambung.

"Halo, ada apa Gio?" tanyaku.

"Nyonya? Ada di mana sekarang?" tanyanya.

"Di taman," jawabku.

"Apa Nyonya baik-baik saja? Nyonya kalau butuh sesuatu bisa minta pada saya," ucapnya di seberang telepon. Bahasanya halus dan terdengar sangat sopan juga nadanya rendah.

"Iya." Sebenarnya aku ingin menanyakan keberadaan Arsel sekarang, bagaimanapun juga aku masih istrinya bukan?

"Nanti akan ada kurir yang mengantarkan pesanan Pak Arsel untuk Nyonya. Sekarang beliau masih ada perjalanan bisnis. Beliau juga menitipkan permintaan maaf karena tidak sempat pamit terlebih dahulu, ada pekerjaan yang mengharuskan beliau ke Gianyar kemarin," jelas Gio.

Pelakor SosialitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang