Wife?

12K 647 8
                                    

Happy Reading!!!
.
.
.

Siang ini cuaca terik, sesekali aku menatap sekilas jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kiri. Pukul 12.20 Wahyu belum bisa kemari menjemputku karena masih melaksanakan salat jumat.

Wahyu lelaki muslim yang kukenal sejak kami berdua berada di bangku perkuliahan. Dia yang kukenal seperti ini sungguh dia juga yang mengajarkanku banyak arti dari kata toleransi. Kami selalu bersama waktu kuliah meningat kami juga Sandra yang aku kenal juga mantan pacar Wahyu, berada dalam satu komunitas.

Pada hari Jumat, biasanya kalau jam makan siang. Aku pesan makanan via aplikasi daring atau makan ke resto bersama karyawan lain. Wahyu tidak bisa menemaniku makan siang atau menyiapkan menu makanan seperti hari biasa karena ia berkewajiban untuk melaksanakan kewajibannya sebagai seorang muslim, karena jadwal pemotretan telah selesai aku berkeinginan untuk segera menuju resto. Aku memiliki riwayat magg, jika telat makan siang biasanya maka perut terasa perih seperti ditusuk jarum. Namun anehnya aku sering sekali melupakan jam makan beruntung sekali aku mempunyai asisten seperti Wahyu dia sangat bisa diandalkan untuk hal semacam ini.

Sedan yang kutumpangi membelah jalanan kota Jakarta di siang hari dengan kecepatan sedang. Sekitar dua pulu menit perjalanan, aku berhenti di sebuah rumah makan padang.

Menu yang kupilih kali ini adalah rendang. Setelah memesan menu aku menempati meja paling ujung, dari sini aku dapat langsung melihat lalu lalang kendaraan dari balik kaca transparan.

Rendang ini luar biasa. Selalu bisa memanjakan lidah penikmatnya. Setelah menghabiskan menu makan siang sepertinya aku telah melupakan sesuatu. Astaga! Wahyu!

Segera kuraih gadget di dalam tas. Mendial nomor Wahyu setelah panggilang terhubung. Aku menekan tombol loudspeaker, maklum aku sedang sibuk membenahi riasan. Dari sini aku dapat merasakan kekesalan Wahyu lewat cara bicaranya. Sepertinya dia khawatir kiranya aku kenapa-napa karena pergi menyetir sendiri. Aku juga lupa untuk memberi tahu Wahyu sebelumnya.

Aku mengirim lokasiku saat ini. Wahyu akan menyusul segera katanya, tak sampai lima belas menit aku dapat melihat seorang laki-laki dengan balutan sarung putih juga kemeja berwarna senada. Tanpa mengalihkan pandangan, aku terus-terusan menatap laki-laki tersebut sampai aku harus bersusah-susah untuk mengontrol diri saat pemuda itu balik menatapku. Ya ampun! Dia kemari! Apa yang harus aku lakukan saat ini. Malu sekali!

"Hima," panggilnya.

Loh? Dia mengenalku?

"Him? Ini aku Wahyu, kenapa nggak diangkat teleponnya? dari tadi loh."

Aku menghembuskan napas perlahan mengatur posisi duduk menjadi lebih nyaman, meraih es teh manis dan meneguknya hingga tandas tak bersisa.

"Loh kamu telepon aku?" aku menautkan kedua alis bingung.

"Tuh masih dering ponselnya." Tunjuk Wahyu ke arah ponsel yang berada di genggaman tangan kiriku, tertera nama Wahyu di layar. Astaga apa lagi ini! Kenapa aku lupa jika sedang memegang ponsel? Dan lucunya lagi, aku juga tidak tahu jika Wahyu tengah meneleponku.

"Hima?"

"Eh?" aku tersentak kaget.

"Maaf ya, aku nggak sempat ganti celana. Aku khawatir tak kirain makan siang di mana. Aku tadi juga ketemu Pak Ferdy di lobby, katanya udah pulang malahan. Tadi sempet aku mau balik ke rumah eh ... telepon kalo lagi makan siang," jelas Wahyu.

"Maaf tadi lupa nggak kasih kabar." aku meringis menunjukkan sederet gigiku kala melihat wajahnya yang ditekuk karena sebal.

Wahyu terkekeh pelan ia mengambil duduk di seberangku.

Pelakor SosialitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang