Day (Four)

8.9K 567 22
                                    

Happy Reading!!!
.
.
.

Hima tidak kuasa menahan isak tangis tatkala Hamis sang Kakak memeluknya erat, Hamis sengaja datang dari Jakarta menemui dirinya, berharap sang Adik mau untuk membagi luka.

"Aku kangen Mama, Kak," cicit Hima.

"Iya, Kakak juga kangen sama Mama. Lain kali kalo ada kesempatan kita ke Jepang," tutur Hamis lembut seraya mengusap surai Hima dengan sayang.

Wahyu yang berada tak jauh dari keduanya ikut terhanyut dalam suasana haru, ia tahu betul bagaimana kehidupan seorang Hima dan Hamis kala kedua orang tuanya resmi berpisah. Wahyu berharap semoga Hima dapat menemukan kebahagiaan secepatnya.

Wahyu teringat obrolan dia bersama Hima beberapa menit yang lalu lebih tepatnya sebelum kehadiran Hamis ke mari.

Teman sekampusnya yang kini menjadi atasannya itu bercerita dengan gamblang tentang masa lalu yang pernah dilalui, tak banyak bahagia, malah banyak dukanya.

"Jika aku bisa memilih, Yu. Aku mau dilahirkan oleh mereka yang hidup sederhana, aku ingin Tuhan mengembalikan hari-hari penuh tangis di masa lalu dan mengantinya di masa depan yang lebih baik. Aku selalu iri kepada mereka yang mendapatkan kasih sayang lengkap, sepertinya menyenangkan jika aku pulang ke rumah, ada Mama dan Papa yang duduk bersama menunggu kepulanganku. Kadang aku sedih jika pulang ke rumah hanya ada kekosongan dan keheningan ruang. Jika banyak orang yang menganggap tempat terbaik untuk pulang adalah rumah, maka itu tidak berlaku untukku. Jika aku pulang aku hanya menemukan bibi asisten yang melayaniku dengan formal, sangat kaku sekali ... sehingga sedikit dari mereka yang dapat menorehkan kesan di hati."

"Aku memang terlahir berkecukupan. Bahagiaku seolah bisa diganti oleh uang, dibelikan mainan dan menyewa bibi asisten untuk merawatku. Padahal semua itu tak membuatku bahagia. Aku justru merasa tak pernah ada di dunia. Jika hadirku hanya membuat mereka berpisah, maka jika aku bisa aku akan meminta dengan hati yang lapang kepada sang pencipta agar aku tak pernah ada di dunia."

"Namun, apapun perlakuan keluargaku padaku di masa lalu yang terkesan buruk, tidak akan kubalas dengan keburukan. Aku bahagia sekarang, sang pencipta benar-benar mendengarkan permintaan Hima kecil kala itu, dan ada satu hal lagi yang menyempurnakan hidupku, kau tau apa?"

"Arsel?" jawab Wahyu takut-takut.

Hima menggeleng pelan, senyum terbit di bibirnya membuat wajah tanpa polesan make up itu semakin bertambah auranya.

"Wahyu."

Hati Wahyu menghangat mendengar jawaban Hima.

Ketukan pintu membuyarkan pikiran Wahyu, begitupun Hamis dan Hima yang saling pandang.

"Biar aku yang buka," ujar Wahyu.

Hima dan Hamis mengangguk setuju. Begitu engsel pintu ia tekan Wahyu dikejutkan oleh seorang pria berumur kisaran setegah abad lebih yang tak lain dan tak bukan adalah Pak Aresrio, Papa Hima dan Hamis. Kedua  bola mata Hima mengerjap beberapa kali, memasang wajah tak percaya melihat seorang yang tak pernah diduga kehadirannya kini berada di hadapan. Sudah lama sekali ia tak berjumpa dengan sang Papa.

"Papa," panggil Hima lirih. Perempuan itu tidak bisa menutupi keterkejutannya begitupun Wahyu.

Aresrio memasang senyum manis, mendekat ke arah kedua anak kandungnya. Pria itu memeluk keduanya, bahkan satu hal yang membuat Wahyu tak percaya, Pak Aresrio ... menangis.

"Papa kenapa bisa ke sini?" tanya Hima kikuk. Saking jauhnya kedekatan antara anak perempuan dan ayahnya membuat seakan ada sekat tinggi yang membatasi. Hima masih belum bisa percaya bahwa apa yang dilihatnya sekarang adalah nyata. Menghiraukan pertanyaan sang anak, Aresrio mengendurkan pelukannya dan tak lama memeluk putrinya erat.

"Maafkan, Papa ya .... "

"Hiks ... Papa!"

"Papa ke sini bersama Hamis," lirih Aresrio.

Tangis Hima pecah bersamaan dengan elusan sayang yang Aresrio berikan.

"Hima sangat merindukan Papa ... hiks Papa!"

Tangisan Hima semakin menjadi, ia meluapkan segala yang ia rasakan pada ketiga lelaki yang berada dalam hidupnya. Membagi luka penghiantan oleh lelaki yang dicintainya sejak SMA. Pertama memang sulit, namun karena ia sudah tidak tahan lagi maka  cerita itu mengalir begitu saja seperti air.

Hima merasakan bebannya sedikit berkurang. Ia mengusap kasar air matanya menggunakan punggung tangan.

"Semuanya akan Kakak selesaikan. Sekarang Kakak mau tanya sama Hima, apakah Hima rela berpisah dengan Arsel?"

Tak ada sahutan, Hima terdiam ia terhanyut dengan pikirannya. Tak lama anggukan kepala Hima membuat Hamis tersenyum.

"Kakak setuju, tidak ada lagi alasan yang membuatmu harus bertahan dengan lelaki brengsek seperti Arsel. Lelaki itu memang harus ditinggal agar sadar, jika ada orang yang benar-benar mencintai kenapa harus mencari orang untuk membagi cinta. Kakak tau kamu cerdas, mesti kamu bisa membedakan mana yang baik buat kamu dan tidak. Berpikirlah dengan logis, jangan besarkan cintamu pada lelaki seperti dirinya. Kamu se--"

"Kak," potong Hima.

Hamis memandang adiknya dengan raut penuh tanya.

"Aku hamil." Hima memegang perutnya.

Hamis dan Aresrio saling pandang, Hamis menggeleng pelan tak percaya. Ia meremas surainya frustrasi begitupun Aresrio yang masih tak percaya dengan apa yang Hima sampaikan barusan.

"Ya Tuhan!"

Hima mengigit bibir bawahnya, ia takut jika sang Papa dan Kakak akan menyuruhnya melakukan sesuatu untuk bayi ini, suatu tindakan yang buruk tentunya, meningat bayi yang di dalam kandungannya mengalir darah Obrian.

"Hima sayang sama bayi ini, jadi jika Kakak sama Papa nggak suka sama bayi ini, maka jangan pernah sekalipun menyuruh Hima untuk melakukan sesuatu! Misalnya menyuruh Hima untuk menggugurkan." Hima meremas ujung pakaiannya, menatap takut Aresrio dan Hamis yang kini masih terdiam.

"Tapi Him, Arsel akan mempersulit semuanya jika bayi itu--"

"Kak!" tegur Hima. Kilat marah nampak jelas pada netra cokelat Himameswari.

"Masalah itu antara aku dan Arsel! Jangan bawa-bawa bayi ini, bayi ini tidak salah! Tolong, Hima mohon ... apapun yang terjadi bayi ini tetap menjadi cucu Papa dan keponakan Kakak! Bayi ini anak Hima." Hima menekan setiap kata, memepertegas bahwa ucapannya bukan hanya bualan semata.

***
Arsel masih tertidur lelap setelah beberapa jam lalu tiba dari bandara. Penerbangan dari Jakarta pukul satu siang, dan kini hari mulai petang sudah sekitar tiga jam ia tertidur.

"Aghr!" Arsel mengeram kesal. Ia menoleh sekilas ke arah jam, seharusnya ia tidak tertidur di sini, seharusnya ia berjuang untuk membujuk Hima kembali.

Beberapa menit berlalu, lelaki itu termenung, mengumpulkan nyawa kemudian ia beranjak menuju kamar mandi guna membersihkan diri. Setelah ini ia harus mencari Hima, Arsel telah bertekad jika Hima harus kembali kepadanya dan ia yakin akan hal itu akan berhasil, mengingat Hima sangat mencintainya.

Arsel yang malang ....
Begitu yakin dengan hal yang ia pikirkan, ia seakan melupakan kebejatannya pada Hima. Apakah Arsel berpikir jika hati tidak bisa berubah? Apakah ia pikir Hima akan tetap mencintainya setelah cinta tulus Hima, Arsel sia-siakan?

Siapapun tolong ingatkan Arsel jika hati bisa berubah kapanpun!
.
.
.
To be continue!!!

Pelakor SosialitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang