Sebelas

1.7K 453 61
                                    

"Tak peduli apakah semua bentuk perhatianmu hanyalah modus. Selagi belum putus, kuanggap semuanya tulus."

***

“Del!” Setelah mengunci pintu utama indekos, Yuri kini mengejar Adelia di tangga. Gadis itu mempercepat langkahnya bahkan nyaris menutup pintu dengan kuat, jika saja Yuri tak berhasil menahannya. Telapak tangan Yuri kini sakit sebab menahan hentakan pintu.

“Del, dengerin gue dulu!” Yuri menepuk kaki gadis itu dari bawah. Adelia sudah naik ke atas ranjangnya.

“Udahlah, Ci. Mulai sekarang semuanya terserah lo. Gue angkat tangan.”

“Del, gue sama Dewa lagi ada masalah, dan tadi baru aja kelar. Gue mohon lo maklum.”

Adelia tak menjawab. Yuri rasa gadis itu sedang pura-pura memainkan ponsel di atas sana.

Yuri duduk di ranjangnya dan mendengkus pasrah. “Baru aja gue baikan sama pacar. Eh, sekarang malah berantem sama sahabat. Kayaknya masalah gue berputar disitu-situ aja deh.”

Yuri menepuk jidatnya. Karena terburu-buru keluar dari mobil Dewa, Yuri jadi lupa membawa bungkusan berisi makanan yang Dewa belikan tadi untuknya. Padahal harusnya itu bisa meredakan sedikit emosi sahabatnya.

Ketika baru merebahkan diri, ponsel Yuri berbunyi, dan menampilkan sebuah pesan masuk dari Adelia. Yuri yang penasaran, langsung membuka isi pesan itu.

 Yuri yang penasaran, langsung membuka isi pesan itu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Yuri meneguk salivanya yang mendadak terasa berat. Padahal Adelia bisa saja melontarkan kalimat itu secara langsung.

Sembari menahan sesak di dadanya, Yuri mengetikkan sesuatu pada ponselnya. Butuh waktu lama untuk Yuri mengirim balasan pesannya, sebab ia sibuk mengetik dan menghapus kalimatnya berulang kali.

Lima menit berlalu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Lima menit berlalu. Pesan itu telah dibaca oleh Adelia tapi tak dibalas hingga sekarang.

***

Paginya, di jam pelajaran Sosiologi, Bu Beta memberikan sebuah tugas hapalan. Guru IPS yang satu itu memang suka menyuruh muridnya menghapal materi pelajaran. Untungnya kali ini hapalannya tidak terlalu banyak.

Yuri sibuk menghapalkan sebuah kalimat penting di buku cetak yang berukuran tebal di hadapannya, sementara Darka, lagi-lagi lelaki itu sibuk dengan kegiatannya sendiri. Tidur.

Tanpa sengaja, Yuri bersitatap dengan Bu Beta yang sedang duduk di meja guru. Beliau menatap tajam ke arah meja mereka. Yuri tahu tatapan elang itu ditujukan untuk Darka. Jangan sampai Bu Beta melemparkan kembali penghapus papan tulisnya ke sini. Tidak masalah jika penghapus itu melayang ke kepala Darka, namun jika malah meleset pada Yuri, maka entahlah.

"Darka..." Yuri memanggil lelaki itu, guna menghindar dari marabahaya. Bu Beta masih terus menatap ke arah mereka.

"Darka..." panggil Yuri sekali lagi, namun tak disahut. Tatapan Bu Beta kini beralih pada Yuri. Yuri meneguk salivanya dengan susah payah. Dia tahu arti tatapan itu. Bu Beta pasti ingin Yuri membangunkan Darka. Ah, benar-benar merepotkan!

Tanpa sungkan, Yuri mengguncang lengan lelaki itu sebanyak dua kali. "Darka bangun!"

"Hmm..." balas lelaki itu akhirnya. Namun posisinya masih sama seperti tadi. Kepalanya masih terbenam di atas meja.

"Ih, Darka, ayo bangun! Bantuin gue!" paksa Yuri sembari mengguncang lengan lelaki itu beberapa kali.

Perlahan, Darka mulai menegakkan tubuhnya. Setengah wajahnya tertutup oleh kupluk Hoodie. Ia menguap, lantas melipat kedua tangannya di atas dada. Kelakuan lelaki itu benar-benar seperti tak ada semangat hidup.

"Bu Beta dari tadi liatin lo tau!" ketus Yuri. Namun Darka tak menggubris apapun. Yuri menyodorkan buku Sosiologi miliknya yang sudah digaris bawahi dengan pulpen. "Dari pada gak ada kerjaan, mending lo bantuin gue ngapal."

"Hmm," balas Darka acuh tak acuh. Buku Sosiologi itu sudah tergeletak di hadapannya.

Suasana kelas saat itu memang bising, sebab para murid sibuk menghapal dengan suara lantang. Yuri mulai melontarkan hapalannya, "Perubahan sosial adalah perubahan lembaga sosial dalam masyarakat yang mempengaruhi sistem..." Yuri menghentikan hapalannya. Dia mendadak lupa dengan hapalannya beberapa menit lalu. "Hmm, yang mempengaruhi sistem... Duh, sistem apa ya? Sistem perilaku, bener gak?"

"Hmm," jawab Darka singkat, dan membuat Yuri tak puas. Ia menarik kembali buku Sosiologinya dan menelitinya secara lamat-lamat. Yuri merengut kesal. "Sistem sosialnya ketinggalan. Harusnya sistem sosial dulu, baru sistem nilai, terus lanjut ke sistem perilaku. Lo gimana sih?! Nih, yang serius dong bantuinnya." Yuri kembali menyodorkan buku itu pada Darka, dan kembali mengulang hapalannya. "Perubahan sosial adalah-"

Yuri menghentikan ucapannya ketika Darka menggeserkan buku Sosiologi di depannya pada meja Yuri. Lelaki itu kembali merebahkan kepalanya di atas meja. Sebelum itu, dia sempat berucap, "Lo hapal aja sendiri."

***

Adelia tampaknya masih marah dengan Yuri. Jam istirahat bahkan saat bel berbunyi, gadis itu tak menghampirinya. Yuri melangkah pulang sendirian.

Setibanya di gerbang utama, perhatian Yuri malah beralih pada seorang lelaki berhoodie hitam. Orang itu baru saja melewatinya. Dia Darka. Lelaki itu berjalan kaki. Dengan iseng, Yuri lantas mengikutinya. Tentu saja Yuri penasaran. Selama dua tahun setengah berada di satu kelas yang sama dengannya, Yuri bahkan tak tahu apa-apa mengenai Darka. Mengapa lelaki itu berjalan kaki? Apa dia pulang menggunakan kendaraan umum? Atau jarak rumahnya dekat dari sini?

Tin!

Sebuah klakson mobil mampu membuat Yuri kaget setengah mati. Ketika menoleh, barulah ia sadar, ternyata itu adalah mobil Dewa. Lelaki itu membuka kaca jendelanya. Ia tersenyum, begitu pula Yuri. Sebelum masuk ke mobil Dewa, Yuri sempat melirik ke depan. Namun Darka, sudah hilang dari penglihatannya.

“Kita mau kemana?” Yuri membuka suara lebih dulu.

“Pulang,” jawab lelaki itu simple. Padahal jarak kos Yuri dari sekolah benar-benar dekat. Tapi tak masalah. Itu artinya Dewa perhatian padanya kan?

“Emang Yuri maunya kemana?” tanya lelaki itu akhirnya.

Pipi Yuri lagi-lagi memanas ketika Dewa menyebutkan namanya. Padahal Yuri sempat berpikir bahwa omongan Dewa kemarin adalah bullshit. Tapi ternyata lelaki itu masih mengingatnya sekarang.

“Yaudah, pulang aja.” Yuri tak berniat menjawab cuek. Tapi tampaknya Dewa malah berpikir sebaliknya.

“Kalau makan gimana?” tanyanya kelewat peka.
Yuri menggeleng. “Hmm, makanan yang kemarin kamu buang ya?” tanyanya iseng.

“Iya. Dewa pikir tadinya Yuri gak suka.”

Yuri menggeleng. “Bukan gitu. Tadinya aku mau sisain buat Adelia, cuma kelupaan. Gapapa sih.”
Keduanya kini telah tiba di depan kos Yuri. Tapi bukannya berhenti, Dewa malah memutar mobilnya, dan memutar arah.

“Loh? Mau kemana?”

“Kita makan,” jawab lelaki itu tanpa pikir panjang.

***

TBC!

Chasing of the Sun (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang