Empat puluh enam

1.6K 419 121
                                    

"Membucin denganku? Maaf, yang kubutuhkan sekarang adalah support system. Sebab semakin dewasa, urusan hati bukan lagi jadi prioritas."

***

Terhitung satu jam semenjak Adelia benar-benar keluar dari kost ini, jujur Yuri tidak sedang menangis. Yang ia lakukan hanyalah berbaring di ranjang bagian atas milik Adelia, dan menatap langit-langit kamarnya sambil mendengarkan lagu sad vibes.

Yang ada dibenaknya saat ini, selanjutnya apa lagi? Langkah apa yang harus ia lakukan disaat benar-benar merasa sendiri?

Apa benar ia akan sanggup? Atau justru malah berhenti di tengah jalan nantinya? Tapi jangan-jangan, ia malah memutuskan untuk berhenti sebelum memulai.

Yuri sudah pernah merasakan hancur berkali-kali. Tapi entah kenapa ia selalu lupa bagaimana rasanya, dan kerap memulai semuanya dari awal. Seperti ditinggal pergi Adelia saat ini. Yuri seolah kehilangan arah. Semua rencana-rencana yang tadinya sudah ia susun rapi seolah tak bergairah lagi untuk dimulai. Padahal ia sudah pernah hidup jauh dari Adelia sebelumnya. Bahkan pernah lebih hancur dari ini.

Ternyata begini rasanya beranjak menjadi dewasa. Bagaimana nanti jika ia sudah menjadi orang dewasa seutuhnya?

Di tengah pikirannya yang sedang bergelut, Yuri memejamkan matanya kuat ketika ponsel yang tadinya sedang mendayu pilu malah berubah menjadi dering panggilan serta getaran yang rasanya benar-benar mengganggu.

Setengah pasrah, Yuri mengangkat ponselnya dan melihat ada sebuah nomor tak dikenal yang sedang menghubunginya. Penasaran, Yuri merubah posisinya menjadi duduk lantas mengangkat panggilan masuk itu.

"Hallo?"

"Hallo, benar ini dengan Abyuri Pitaloka?"

"Benar, saya sendiri."

"Saya dari apotek Permata. Hari ini kamu datang pukul dua siang ya, kita interview."

Darah Yuri seolah berhenti mengalir. Tubuhnya mendadak dingin. Perasaannya kini mendadak tak karuan.

"Baik, Bu. Terimakasih."

Begitu ponselnya ditutup, Yuri lagi-lagi dibuat mematung. Ia ingat, jika apotek Permata itu adalah tempat terakhir ia memasukkan lamaran kerja kemarin. Andai saja Adelia masih di sini, gadis itu pasti akan merasa bangga padanya.

Detik itu juga, Yuri turun dari ranjangnya dan beranjak menuju lemari untuk menyiapkan pakaiannya. Ia berharap, semoga hari ini adalah hari keberuntungannya.

***

Dista mempercepat langkahnya keluar rumah untuk menyusul putranya yang kini sudah kembali. Tapi sayang, langkahnya kalah cepat, sebab lelaki itu bahkan sudah menaiki motornya dan keluar dari pelataran rumah. Dista sontak terduduk di lantai.

Andra, mantan suaminya malah dengan santai keluar dari rumah dan berjalan masuk ke dalam mobilnya tanpa mengatakan apapun.

Dista kembali sendirian.

Setelah sekian lama tak saling komunikasi, tiba-tiba saja Andra datang dan masuk ke dalam rumahnya lantas mencium bibirnya. Pria itu seolah mencari letak kehangatan yang dulunya pernah mereka rasakan. Dista tak bisa menghindar, tak juga bisa mengelak.

Tadinya pikirannya sedang kosong. Otaknya bahkan lelah memikirkan keberadaan putra satu-satunya yang memilih untuk keluar dari rumah.

Tadinya dia sudah pulang. Tapi sekarang dia pergi lagi.

Dista membaringkan tubuhnya di pelataran rumah sambil meringkuk. Ia yakin, Darka pasti akan kembali pulang. Dan ia pastikan, saat anaknya pulang, yang dilihatnya pertama kali ada posisi tubuhnya saat ini.

Chasing of the Sun (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang