Tiga puluh empat

1.7K 414 105
                                    

"Sudah tahu tak bisa membalas, harusnya kau menjauh. Mendekatkan diripun rasanya akan percuma. Sebab yang diinginkannya hanya hatimu, bukan omong kosongmu."

***

"Nanti malem kita makan apa nih? Buatin gue nasi goreng dong." Saat ini, mereka sedang berjalan menuju sekolah.

"Okey." Ujar Adelia tanpa membantah. Ponsel gadis itu tiba-tiba berdering, ia sontak mengangkat panggilan telepon itu.

"Hmm?" Adelia bersuara pelan, tapi Yuri bisa mendengarnya meski samar.

"Gue udah berangkat. Sorry." Adelia langsung memutus panggilan teleponnya.

"Siapa?" tanya Yuri kepo.

"Hm?" Adelia bungkam selama beberapa saat sebab ia juga sedang sibuk mengetik sesuatu di ponselnya. "Si Rani." Jawabnya.

"Dia mau jemput?"

Adelia hanya berdehem. "Eh, pulang sekolah nanti temenin gue belanja ya."

"Oke," balas Yuri tanpa curiga sedikit pun.

***

Sepertinya kasus dipanggil ke BK kemarin tidak sepenuhnya buruk. Buktinya sekarang Yuri bisa melihat kembali kepedulian sang Mama dan juga memperbaiki hubungan dengan Adelia. Sejak pagi tadi, gadis itu sangat perhatian padanya. Ia membantu Yuri untuk mengejar ketertinggalannya selama bolos sekolah.

Saat jam istirahat, Adelia juga memaksa Yuri untuk ikut dengannya di kantin. Padahal tadi niatnya ingin di dalam kelas saja dan bercerita banyak dengan Darka lewat chat.

"Del, gue belum biasa sama keramaian. Lo ngerti kan?" Dipanggil ke ruang BK kemarin agak membuat Yuri minder dengan orang-orang. Setipis itu mentalnya memang.

"Ada gue, Ci. Tenang aja."

Seperti dugaan Yuri, Adelia mengajaknya bergabung dengan rombongan teman kelas. Tentunya ada Rani, dan para cowok. Adelia mungkin sudah terbiasa dengan hal itu, tapi tidak dengan Yuri.

Aldi yang turun tangan memesan makanan, Yuri hanya bungkam sejak tadi, sebab Adelia yang mendikte kan satu-persatu pesanan mereka. Gadis itu sudah hapal dengan makanan favorit teman-temannya dan tak lupa dengan Yuri yang tak suka dengan sayuran.

Di sini Yuri hanya bertugas sebagai tukang simak. Jangan salahkan Yuri atas sikap introvert nya. Yuri hanya tak bisa memulai bicara dengan orang yang tak sefrekuensi dengannya. Menyusahkan memang.

Akhirnya pesanan mereka pun tiba. Tapi hal itu tak serta merta membuat mereka khusyuk saat makan. Mereka tetap berbicara, dan Yuri tak terbiasa dengan kondisi ramai seperti ini.

"Gue denger dari anak IPA, katanya lo sama Dewa udah putus ya, Ci?" Yuri kaget. Bukan masalah pertanyaan ini dilayangkan oleh mantannya Dewa, tapi ia hanya tak terbiasa dengan pertanyaan ini.

Dewa adalah pacar pertama sekaligus mantan pertamanya. Putus cinta sebenarnya hanya masalah sepele. Tapi kenapa Yuri merasa sesakit ini? Ada gejolak emosi yang ingin ia keluarkan lewat air mata, dan entah kenapa ia merasa orang-orang menatapnya dengan tatapan kasihan.

"Udah." Balas Yuri setelah bungkam cukup lama. Respon semua orang hanya biasa saja, seakan memang sudah tahu info ini sebelumnya.

Rani lantas menyenggol lengan Adelia pelan. "Trus lo gimana? Si Dewa udah lo terima belum?"

Adelia yang kaget lantas mencubit lengan Rani hingga gadis itu berteriak. Selanjutnya mereka kembali melanjutkan obrolan yang terdengar asing bagi Yuri.

Selera makannya mendadak hilang. Seperti ada batu yang mengganjal di tenggorokannya. Yuri mengecek ponselnya. Dewa masih memblokirnya entah karena apa.

Pendengaran Yuri terasa samar. Mood nya berubah down drastis.

Yuri bangkit secara tiba-tiba, membuat teman-teman semejanya sontak menatapnya. Yuri memang sudah putus dengan Dewa. Tapi masalah mereka belum selesai.

"Ci!" Adelia berniat mengejar Yuri, namun ditahan oleh Rani.

"Udah, biarin dia tenangin dirinya dulu."

***

Jika dulu Yuri memilih mengubur masalahnya hingga berlarut-larut, sekarang tidak lagi. Jika dulu Yuri selalu lemah dengan Dewa, kini tidak lagi.

Sembari mengenakan masker hitam yang masih tersimpan di ranselnya, Yuri nekat mendatangi kelas Dewa. Tak hanya sekedar memanggil lelaki itu di depan kelas. Tapi Yuri masuk ke kelasnya langsung.

"Gue mau bicara," Ujar Yuri tanpa basa-basi. Tak peduli jika saat itu situasinya Dewa sedang ngobrol dengan salah satu teman perempuannya.

Yuri berjalan lebih dulu, diikuti oleh Dewa di belakangnya. Yuri pergi ke belakang sekolah. Satu-satunya tempat sepi yang aman untuknya meluapkan emosi.

Masker hitam ini cukup berguna untuk menutupi wajah menyedihkannya di hadapan Dewa.

"Boleh kasih gue alasan kenapa lo blokir gue?" Terdengar frontal. Mungkin dengan kalimat pertama ini Dewa akan berpikir bahwa Yuri gagal move-on padanya.

Dengan cepat Yuri menambahkan kalimat lainnya. "Kalau aja lo bersikap dewasa, mungkin gue lebih milih omongin ini secara baik-baik lewat chat."

"Aku gak blokir." Singkat dan sangat jelas, tapi mampu membuat emosi Yuri semakin menggebu-gebu. Dewa langsung mengecek ponselnya. Ia bungkam, lantas beralih menatap Yuri tanpa sepatah kata pun.

"Boleh gue minta cukup berhenti di gue?" Sekali lagi omongan Yuri ini mungkin menggambarkan orang yang gagal move-on. Yuri kembali melanjutkan ucapannya. "Jangan ada perempuan yang lo terima cintanya tanpa ada rasa sedikitpun. Jangan bikin korban lo makin banyak. Asal lo tau, dengan lo terima perasaan 69 mantan lo, itu bukan bikin mereka senang, tapi malah bikin mereka trauma dan berpikir semua cowok sama aja. Gak ada yang bahagia di hubungan ini. Lo merasa terbebani, dan cewek lo merasa tertekan."

Dewa bungkam, tak membantah sedikitpun.

"Gue mewakili perasaan 69 mantan lo. Pacaran itu memang bukan hubungan yang serius. Tapi paling nggak lo bertanggung jawab. Bukan dengan cara hilang-balik-blokir-balik lagi, merasa kalau hubungan itu baik-baik aja!"

"Satu lagi." Yuri mati-matian menahan perasaan emosinya. "Kalau lo cuma mau main-main sama Adelia, mending lo berhenti. Dia sahabat gue."

Yuri akhirnya melangkah pergi, meski lawan bicaranya tak berkutik sama sekali. Air mata Yuri kini mengalir bebas. Selemah itu dia memang. Untuk kali ini, Yuri terpaksa melanggar janjinya untuk bolos lagi di jam pelajaran.

***

Yuri mengatakan pada Adelia bahwa saat ini ia sedang ingin sendiri. Yuri sudah pernah kehilangan perhatian Adelia karena Dewa, dan sekarang Yuri tak akan mengulang alasan yang sama, meski hatinya bertanya-tanya bagaimana Adelia bisa memiliki hubungan dengan Dewa tanpa sepengetahuannya.

Yuri melampiaskan rasa kesalnya pada Darka, meski lelaki itu hanya sekedar membaca pesannya.

Pintu UKS dibuka. Yuri menutup matanya dan memilih untuk tidur menghadap dinding.

Syukurlah itu ternyata hanya murid yang sedang mengambil obat. Sepertinya orang itu tak sadar jika yang sedang berbaring di ranjang adalah Yuri, sebab saat ini mereka sedang membahas Dewa.

"Kak Dewa udah putus sama pacarnya yang anak IPS."

"Bagus lah."

"Gue denger katanya dia lagi deket sama Kak Adel. Nah kalau yang itu gue setuju. Kak Adel orangnya ramah banget. Cantik lagi."

"Iya, katanya Kak Dewa udah lama ada rasa sama Kak Adel, cuma baru direspon sekarang."

"Kenapa gak pacaran dari dulu aja sih."

Tak lama, pintu UKS akhirnya ditutup. Tak ada suara apapun lagi. Kini, Yuri bisa menangis sepuasnya.

***

TBC!

Chasing of the Sun (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang