Empat puluh dua

1.6K 462 249
                                    

"Yang kau punya itu hanya sebatas rasa kasihan. Tak perlu kau jelaskan, sebab aku pun merasa miris with my self."

***

Darka tak kembali ke kelas hingga bel pulang berbunyi. Sejak datang tadi sebenarnya mood nya memang sudah berantakan. Entahlah, semenjak mamanya sakit belakangan hari ini, banyak hal yang Darka alami. Omongan sang Mama seputar jangan jauh darinya, serta selalu menyebut namanya Dara membuat Darka dongkol. Ingin membantah, tapi takut penyakit sang Mama semakin menjadi-jadi. Alhasil Darka memendamnya sendirian.

"Kalau gak terlambat, ya tidur sampai pelajaran selesai. Kapan kamu mau sadar kalau sekarang kamu adalah seorang siswa, Darka? Terlambat sepuluh menit, seharusnya kamu berdiri di luar. Tapi mengingat sebentar lagi ujian kelulusan, saya tidak tega membiarkan kamu ketinggalan pelajaran. Sekarang duduk di kursimu, dan perhatikan apa yang saya terangkan." Itu wejangan singkat dari Bu Beta tadi pagi.

Tak menggubris ucapan gurunya, Darka tetap melanjutkan kegiatan tidurnya di atas meja.

"Kalau ada yang ngomong tu respon! Gak sopan banget jadi orang! Lo pikir diem-diem gitu keren? Cupu sialan!"

Darka dapat mendengar jelas umpatan Adelia terhadap dirinya saat di kelas tadi. Semua terjadi karena ia tak menghiraukan Yuri.

Entahlah. Hari ini mood nya sangat kacau. Ia merasa sensitif hingga enggan berbicara pada siapapun.

Begitu tiba di rumah, tak seperti biasanya sang Mama menyambutnya di depan rumah. Darka berpikir mungkin sang Mama masih istirahat di kamar.

Tapi saat melihat pintu kamarnya yang terbuka lebar, perasaan Darka menjadi tak enak.

Dan benar saja. Saat masuk ke dalam kamar, sang Mama sedang duduk di ranjangnya sembari memegang satu slop rokok serta mancis.

Sial! Ia ketahuan.

"Semenjak sekolah di luar, kamu kenal sama benda-benda ini? Sekarang kamu masih gak paham apa alasan Mama ngurung kamu di rumah? Masih ngira Mama jahat? Yang ajarin kamu merokok pasti temen-temen sekolah kamu kan? Ngaku Dara!"

Darka tak berkutik. Tak mungkin ia menjawab bahwa rokok adalah teman hidupnya. Tempat pelampiasan segala rasa stresnya.

"Harusnya Mama gak biarin kamu sekolah di luar. Orang-orang di luar sana jahat. Buktinya mereka ngajarin kamu ngerokok supaya kamu sakit."

Darka tak habis pikir dengan omongan sang Mama.

"Ma... Udahlah."

"Apanya yang udah?!" Dista membanting rokok serta mancis itu tepat di hadapan Darka. "Sejak kapan kamu sembunyiin itu dari Mama? Kamu suruh Mama minum obat-obatan dari dokter supaya Mama sembuh, tapi kamu malah nyiksa diri kamu dengan ngerokok. Kamu mau ninggalin Mama kan?!"

Darka menggeleng.

"Bohong! Kamu sama kayak Papa kamu! Kalian semua mau ninggalin Mama!"

Darka menjambak rambutnya sendiri. Kalimat itu lagi... Kalimat itu terus yang dilontarkan sang Mama setiap harinya. Darka muak mendengarnya.

"BUKAN ROKOK YANG BUNUH AKU, MA. TAPI MAMA!" Lepas sudah keganjalan di hatinya. Demi apapun Darka benar-benar sudah tak tahan dengan semuanya.

Dista jelas kaget mendengar ucapan lantang anaknya. Tak lama pandangannya menunduk. Kedua tangannya terangkat guna menopang kedua wajahnya. Ia menangis pilu.

Mamanya tersinggung. Darka tahu itu. Tapi dia bisa apa? Tanpa sadar, air matanya kini mulai jatuh dari suduh matanya. Ia jelas tak baik-baik saja melihat sang Mama menangis di hadapannya.

Chasing of the Sun (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang