Empat puluh tujuh

1.5K 390 45
                                    

"Berjuang bersama hingga akhirnya mencapai level sukses. Semesta mengizinkan jalan kita sama-sama bahagia, sekalipun ditakdirkan tidak untuk bersama."

***

Adelia hanya bisa membatu sejak pertama masuk ke dalam mobil. Seseorang yang sedang menyetir di sebelahnya saat ini adalah Juna. Lelaki yang pernah menyetujui kesepakatan untuk menikah dengannya demi menyelamatkan kewarasan kedua orang tua mereka.

Hal yang membuat Adelia terdiam adalah begitu melihat ternyata Juna bukanlah lelaki seumuran yang hanya selisih setahun-dua tahun di atasnya.

Melihat seragam rapi, serta perawakan wajahnya, mampu membuat Adelia berpikir seribu kali dan menebak-nebak apakah pria di sebelahnya ini malah sudah berumur atau bagaimana.

"Santai saja. Saya masih kepala tiga kok." Ujar lelaki itu tiba-tiba.

Adelia sontak menoleh padanya. Sumpah! Darimana dia bisa tahu jika Adelia sedang memikirkan itu? Dan demi apa, bahasanya terdengar kaku, tidak seperti saat mereka chatingan!

"Harusnya gue manggil om, soalnya gue masih tujuh belas!" Balas Adelia ketus.

Juna manggut-manggut sambil tersenyum kecil.

"Lo ngajar dimana?" Tanya Adelia sebab seragam yang dikenakan Juna memang persis seperti seragam dinas.

"Di sekolah deket rumah."

Adelia manggut-manggut. "Guru apa? Agama?"

"Kepala sekolah."

Gleg!

Adelia seolah tertampar. Bertemu dengan Juna secara langsung hari ini benar-benar menghancurkan ekspektasinya.

Ia pikir tadinya Juna akan sama sepertinya. Yang ada di benak Adelia, Juna adalah sosok bad boy yang hancur sebab melihat perilaku menyimpang orang tuanya. Tapi saat melihat sosok Juna yang kelihatan seperti pria baik-baik, rasanya sangat tak percaya jika ia memiliki orang tua yang seperti itu.

"Nyokap lo kenapa gak di ruqyah aja sih?" Adelia meluncurkan pertanyaan sarkas.

"Percuma Mama saya di ruqyah kalau Mama kamu nya masih kayak gitu." Balas Juna santai.

"Kita bisa bawa mereka ruqyah bareng, biar pada insyaf."

Bunyi dering ponsel membuat percakapan mereka terhenti. Ternyata itu berasal dari ponsel milik Juna. Lelaki itu memilih mengangkat telpon dan mengambil sebelah earphone nya. Adelia membuang muka ke samping sebab Juna kelihatan sibuk membahas pekerjaan.

Melihat pemandangan di luar membuat Adelia mengantuk. Ia benar-benar kurang tidur semalaman suntuk. Tak butuh waktu lama, tanpa sadar ia tertidur.

***

Adelia terbangun mendengar notifikasi pesan yang beruntun. Sebelum membuka ponselnya, ia merenggangkan lebih dulu urat-urat lehernya, dan malah tak sengaja menatap ke arah luar. Ternyata hari sudah malam dan mereka masih juga di perjalanan.

Begitu mengecek ponsel, ternyata notifikasi pesan itu berasal dari Yuri, sahabatnya. Begitu membaca pesan dari gadis itu, Adelia sontak merasa iba. Jika dia ada di sana, mungkin dia akan memeluk Yuri.

Adelia menoleh ke sebelah. "Masih jauh gak?"

"Masih. Kenapa? Kamu capek?"

Adelia berdecak kesal. "Sumpah ya, gue berasa lagi ngobrol sama guru di sekolahan. Gak usah formal-formal deh. Lo-gue aja, kayak lagi chatingan."

Juna tak bereaksi apapun.

Adelia kini beralih membuka alamat rumah Mamanya melalui Maps, dan ternyata perjalanan mereka membutuhkan waktu sekitar satu jam lagi.

Chasing of the Sun (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang