Empat puluh

1.6K 446 219
                                    

"Beban hidup akan terasa sedikit ringan jika dicurahkan kepada manusia lain. Itupun jika kau memilih tempat curhat yang tepat."

***

Beruntungnya hari ini tanggal merah, hingga Yuri tak perlu tergesa pulang ke rumah untuk bersiap-siap ke sekolah. Darka mengantarnya ke kosan. Lelaki itu tak bisa lama-lama di luar rumah, sebab takut meninggalkan sang Mama sendirian di rumah.

Lelah menaiki tangga, napas Yuri terlihat memburu saat tiba di lantai kamarnya. Ia memutar kenop pintu yang kebetulan tak dikunci oleh Adelia. Namun saat melihat sekeliling, Yuri tak menemukan keberadaan gadis itu. Aneh. Padahal biasanya Adelia selalu mengunci pintu kamar meskipun hanya sekedar ke toilet jika tak ada Yuri di dalamnya.

Merasa ada yang tak beres, Yuri bergegas melangkah ke arah balkon. Dan ya... Adelia ada di sana.

"Mama gak perlu tau aku tau darimana soal kejadian itu. Yang jelas, aku gak bisa tinggal diam lagi, Ma."

Adelia terlihat sedang menelpon seseorang. Yuri tebak, itu pasti Mamanya. Tak mau mengganggu atau mengageti gadis itu, Yuri memilih untuk kembali masuk ke dalam kamar.

"Aku yang capek liat kelakuan Mama! Aku yang malu! Aku tau Mama trauma sama Papa, bahkan sama laki-laki. Tapi nggak gini caranya. Ini sama aja Mama melawan takdir!"

Yuri tadinya tak berniat untuk menguping. Tapi suara Adelia dapat terdengar hingga ke dalam kamar. Entah mungkin karena gadis itu tak sadar jika Yuri sudah kembali.

"Aku mau nikah sama Juna!"

Yuri membulatkan matanya tak santai. Meski sebelumnya ia sudah mendengar kalimat ini dari Adelia.

"Aku nikah sama Juna demi Mama. Biar Mama bisa lepas dari tante Maya, orang tuanya Juna sendiri!"

"IYA! AKU YANG GILA! MAMA YANG BIKIN AKU GILA!"

Setelah itu, terdengar isakan tangis dari arah balkon. Tak salah lagi. Itu pasti suara Adelia. Yuri beralih untuk menyusul gadis itu. Yuri membulatkan matanya tak santai saat melihat sesuatu yang sedang diisap oleh gadis itu.

"Woi, Del! Lo udah gila!" Yuri menjatuhkan tubuhnya lantas dengan cepat merampas rokok di tangan gadis itu. Adelia sontak terbatuk karenanya.

Seumur-umur, baru kali ini Yuri melihat seorang Adelia berani menyentuh rokok. Entah sejak kapan gadis itu memulainya.

Rokok itu dibakarnya, dan mungkin baru beberapa kali isapan. Butuh waktu lama untuk Adelia menyelesaikan batuknya akibat tersedak asap rokoknya sendiri.

"Siapa yang ngajarin lo ngisep ini?!" Sungut Yuri.

Sudut mata Adelia tampak berair. Bukannya menjawab, gadis itu malah mengambil kembali sebatang rokok dari kotaknya. Yuri membulatkan mata tak santai.

"Capek gue." Ucap Adelia dengan nada tercekat.

Yuri tadinya ingin kembali merampas rokok itu, namun melihat air mata mengalir dari sudut mata gadis itu, membuatnya mengurungkan niat. Tampaknya Adelia sedang tak baik-baik saja.

"Lo bisa cerita sama gue, Del." Ujar Yuri berusaha menenangkan.

Adelia menggeleng. Setelah menyalakan api di rokoknya, ia menghisap benda itu, lantas mengembuskan asapnya.

"Gue rela nikah sama orang yang gak gue cinta, demi nyelamatin nyokap dari maksiat. Tapi nyokap malah nuduh gue hamil di luar nikah dan minta pertanggung jawaban sama Juna, karena dia tau gue gak sedekat itu sama Juna sampai mau mutusin untuk nikah."

Adelia sama sekali tak menatapnya. Gadis itu bercerita tanpa nada tercekat, namun air matanya masih juga lolos begitu saja.

"Gue muak. Dan gue jujur kalau gue malu sama kelakuannya. Gue malu pas denger nyokap ketauan sama warga pas lagi berhubungan badan sesama jenis. Tapi dia tetep bantah! Hubungannya cuma belum direstui negara. Kalau nyokap pindah ke luar negeri, hubungannya bakal diterima sama masyarakat. Itu katanya."

Yuri cukup kaget mendengar cerita Adelia.

"Nyokap bilang. Gue gampang nyuruh dia pisah dari pacarnya, karena gue belum ngerasain gimana rasanya dihancurkan sama laki-laki."

"Tapi kenapa di sini seolah gue yang salah. Gue salah karena nentang hubungan nyokap. Bahkan gue dibilang gila. Gue kayaknya udah mulai gak waras, Ci."

Yuri membawa gadis itu untuk bersandar di pundaknya. Ia tak membalas apapun, sebab tampaknya Adelia masih belum selesai dengan unek-uneknya.

Adelia kembali bersuara. "Tuhan itu adil gak sih? Kalau nyokap bisa hancur sampai melenceng kayak gini gara-gara bokap gue, harusnya bokap dapet karma! Tuhan gak tidur kan, Ci?"

"Del, lo gak boleh bawa-bawa Tuhan. Semua udah diatur. Biar gimanapun, mereka tetep orang tua lo. Lo gak boleh ngatain macem-macem tentang mereka." Ujar Yuri akhirnya.

"Lo gak usah munafik, Ci. Bokap kandung lo, gak jauh beda sama bokap gue."

Yuri bungkam. Apa yang Adelia katakan memang benar. Keduanya tumbuh tanpa campur tangan seorang ayah. Bahkan dulu Yuri pernah berpikir bahwa semua orang mungkin merasakan apa yang dirasakannya. Semua pria yang sudah menikah mungkin juga akan bertingkah sama seperti ayahnya. Tapi ternyata salah. Tidak semua pria dewasa sejahat itu.

"Del, nyokap lo ada benernya juga tau."

"Maksud lo?"

"Ya... tentang nikah setelah lulus sekolah sama Juna. Lo yakin bisa bertanggung jawab atas pernikahan lo nanti? Maksud gue, lo saksi atas hancurnya hubungan rumah tangga orang tua lo. Apa lo mau, suatu saat nanti anak lo juga ngerasain apa yang lo rasain? Secara lo nikah sama orang yang gak lo cinta."

"Pernikahan gue sama Juna gak seperti yang lo bayangin, Ci. Sebelum nikah nanti gue mau buat kesepakatan kalau pernikahan ini cuma sebatas status. Kita berdua bebas punya hubungan di luar sana. Dan kemungkinan, gue bakal childfree."

Yuri sontak mendorong Adelia dari bahunya. "Lo beneran udah gila kayaknya, Del! Lo pikir pernikahan itu bisa dimainin? Apa tadi? Childfree? Astaga, Del. Hati-hati ntar omongan lo dikabulin Tuhan!"

Adelia kembali bungkam. Ia membuka kotak rokoknya, lantas mengambil satu batang dengan kondisi tangan yang tremor. Ia menghidupkan api, lantas membakar rokoknya. Yuri tak lagi melarang gadis itu.

Di tengah isapan rokoknya, air matanya malah jatuh. Itu ungkapan rasa sakit hatinya saat ini.

"Terus gue harus gimana, Ci?" Tanyanya dengan nada tercekat. Yuri iba mendengarnya. "Kalau lo ada di posisi gue, lo bakal gimana?"

"Gue bakal terusin pendidikan gue sampai-"

Adelia memotong ucapan Yuri. "Percuma gue sukses, kalau nyokap gue masih terus maksiat."

"Nyokap lo kesepian, Del."

"Gue tau dia kesepian, makanya dia cari pelampiasan untuk pacaran sama perempuan!"

Yuri kehabisan kata-kata. Di situasi seperti ini tampaknya Adelia butuh waktu merenung sendiri.

Yuri menggenggam bahu gadis itu. "Del, gue tau lo butuh waktu sendiri. Gue gak bisa bantu banyak, karena ini urusan pribadi lo. Tapi nanti, kalau lo udah mulai reda, dan mau minta saran ke gue, jangan sungkan ya."

Begitu Yuri hendak bangkit. Adelia lantas menggenggam sebelah tangannya.

"Ci... maaf kalau waktu itu gue sempat rebut kebahagiaan lo."

Yuri bungkam sebab sedang berpikir ke belakang, detik selanjutnya ia mulai tersadar. Yang Adelia maksud mungkin Dewa.

"Udah, gak usah dibahas lagi. Btw, rokok lo biar gue yang pegang. Hari ini cukup itu aja." Yuri mengambil kotak rokok di lantai, lantas masuk dan membiarkan Adelia menenangkan diri di balkon sendirian.

***

TBC!

Chasing of the Sun (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang