Empat puluh delapan

1.4K 408 81
                                    

"Aku berhenti dan beralih untuk menambal luka hati yang tadinya kau buat retak. Aku tak ingin kau kembali, sebab hatiku menolak untuk kau acak."

***

Terhitung sudah tiga hari Yuri menginap di rumah sang Mama. Rasa takutnya akan pintu kamar yang tak dikunci kini mulai hilang. Sebab sang Mama sudah meyakinkannya bahwa untuk dua minggu ke depan papa tirinya tidak akan pulang.

Baru kerja satu setengah hari saja mampu membuatnya jatuh sakit selama berhari-hari. Yuri merasa tubuhnya terlalu berlebihan dan manja.

Selama di rumah ini, Yuri merasa tak ada waktu untuk memegang ponsel. Sebab waktunya benar-benar ia habiskan untuk istirahat. Bangun untuk makan atau buang air kecil dan ngobrol dengan sang Mama.

"Mama menyerahkan masa depan seutuhnya sama kamu bukan berarti kamu maksain diri melakukan pekerjaan yang kamu sendiri gak sanggup." Ayuni kini sedang menyuapkan bubur ayam untuk putrinya.

Yuri bungkam.

"Baru juga lulus ujian. Istirahat dulu, kamu tau badan kamu capek. Tapi kamu tetap maksain kerja. Lihat sekarang, kamu jadi sakit berhari-hari kan."

Yuri menghapus sudut matanya yang kini berair. Bukan karena sakit hati atas omelan sang Mama. Tapi karena ia sudah lama tak merasakan moment ini.

"Mama sayang sama kamu. Jangan nyiksa diri gini lagi. Denger?"

Yuri mengangguk.

Setelah makanannya telah habis, sang Mama lantas keluar dari kamar dan meninggalkannya berdua dengan Yura.

Semenjak hari pertama Yuri menginap di sini, Yura memang selalu menemaninya tidur. Tak ada yang menyuruhnya, gadis kecil itu yang berinisiatif sendiri.

Dan setiap pagi, Yura tak pernah absen memegang dahinya, mengecek apakah masih panas atau sudah reda. Setelah mendengar suara pintu, menandakan gadis itu keluar kamar, sudut mata Yuri selalu berair. Entahlah, akhir-akhir ini dia selalu sensitif terhadap hal kecil.

Di hari ke-empat, Yuri berusaha melawan rasa sakit di tubuhnya. Mungkin Yuri harus banyak bergerak agar tubuhnya bisa sadar diri dan segera sembuh. Yuri bergerak untuk merapikan kamarnya. Hanya ada beberapa barang yang tinggal di sini, sebab kebanyakan memang berada di indekos.

Yura masuk ke kamarnya. Kali ini gadis kecil itu keliatan fresh, sepertinya baru selesai mandi.

"Kak Uyi, Uya boleh pinjem ini gak?" Yuri menoleh pada adiknya. Dilihatnya sang adik kini sedang memakai jepit rambut berkarakter bunga matahari.

"Ambil aja." Balas Yuri.

"Asyik! Kata Mama Kak Uyi suka bunga matahali. Uya juga suka!"

"Jangan!"

Yura sempat terdiam. Beberapa detik kemudian, gadis itu kembali bersuara. "Kenapa?"

"Kamu gak boleh ngikutin apa yang disukai orang lain. Gak semua orang suka ditiru."

Yura kembali bungkam. Posisinya saat ini, Yuri memang sedang membelakangi gadis itu sebab ia sibuk merapikan laci meja rias. Tak lama, gadis kecil itu lantas keluar dari kamar.

Mata Yuri sempat mengekori adiknya saat keluar kamar. Pandangannya kini beralih menoleh ke belakang. Jepit rambut yang tadinya dipinjam oleh sang adik kini tergeletak di atas lantai.

***

Yuri beralih ke akun Instagram. Dilihatnya teman-teman kelasnya sibuk memposting foto mereka yang sedang liburan bersama.

Iri? Tentu saja. Terkadang Yuri juga ingin ikutan menikmati hidup seperti orang-orang. Tapi masalahnya dengan siapa? Dia tak punya siapapun kecuali Adelia, dan gadis itu sudah jauh sekarang. Mungkin dengan Darka, tapi lelaki itu pun tak tahu entah bagaimana kabarnya sekarang.

Chasing of the Sun (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang