Prologue

8.5K 535 2
                                    

Pernahkah kalian mengalami sebuah pertemuan kecil yang meninggalkan kesan begitu dalam? Padahal kalian juga tidak banyak bertukar kata. Interaksi yang terjadi berupa sapaan singkat dan lemparan senyum ramah semata. Namun, ada sesuatu di dalam lawan bicara yang membuat kalian kesulitan melepas fokus darinya. Mungkin sesuatu itu adalah senyumnya. Atau sikap keibuannya. Mungkin juga jiwa kesepian yang menghuni tubuh kecilnya. Jiwa kesepian yang hanya ditunjukkannya ketika dia berpikir tidak ada orang lain yang memperhatikannya.

Mustahil, batin gue.

Dari tempat gue berdiri sekarang, dia justru sosok yang paling memikat. It should really be illegal for someone to look so perfect.

Setiap ada kesempatan, gue selalu mencuri lihat ke arahnya. Tentu saja, dia nggak menyadarinya. Dia tampak terlalu larut dalam pikirannya sendiri.

Rasanya gue pengin menyudahi aktivitas gue di balik meja barista dan menghampiri dia. Namun, sebelum gue sempat menyelesaikan transaksi terakhir, teman kencan perempuan itu sudah datang. Seorang pria berpenampilan necis dan berkelas khas laki-laki metropolitan pada umumnya. Bertolak belakang dengan gue yang lebih senang menyempurnakan penampilan dengan jaket kulit dan sepatu boots.

Sepintas melihat, perempuan seperti dia memang lebih pantas bersanding dengan laki-laki seperti teman kencannya itu. Cuma setelah melihat kejengahan cewek itu menghadapi lelaki di depannya, rasanya gue pengin menyelamatkan dia. Namun, di sisi lain, gue tahu gue nggak berhak menginvasi kehidupan personalnya.

Gue hanya nggak habis pikir bagaimana bisa perempuan kayak dia justru menjadi orang yang mencari-cari cinta. Dia bahkan bersedia datang lebih awal. Menunggu lebih lama untuk kencan membosankan seperti ini. Lalu, apa yang dilakukannya selanjutnya? Pulang dengan kekecewaan dan mengulang siklus ini?

Gue tahu semestinya gue nggak perlu memusingkan masalah orang yang bukan siapa-siapa gue, tapi yang seperti gue bilang tadi, ada sesuatu di dalam diri perempuan itu yang membuat gue nggak bisa berhenti memikirkannya. Ingin rasanya gue mencegatnya waktu dia keluar dari kedai. Mencoba peruntungan dengan meminta nomornya dan mengajaknya kencan. Namun, gue tahu diri. Gue belum pantas untuk cewek seperti dia. Mendekatinya saja sudah menjadi hal terlarang, apalagi menawarkan kencan.

Dia seperti mahakarya dan gue hanya pengamat yang nggak punya sumber daya apa pun untuk memilikinya. Gue cuma bisa melihat. Mengagumi keelokannya tanpa sanggup menyentuh. Menginginkannya, tapi dia terlalu jauh untuk dijangkau. Setidaknya untuk saat ini.

Lalu, sebelum gue menyadari apa yang gue lakukan, gue sudah lebih dulu berikrar pada diri gue sendiri. Ikrar yang terus gue ingat dan bawa hingga hari yang tidak pernah gue sangka-sangka itu benar-benar datang.

💓💓💓

Falling For The ForbiddenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang