A Real Kiss

5.3K 459 13
                                    

Selain Papa, Damien, dan Zach, belum pernah ada laki-laki lain yang kuizinkan bertamu ke apartemenku. Sampai bocah ini menginjakkan kaki di sini. Duduk di balik meja dapur berbahan keramik yang memisahkan dapur dengan ruang makan. Mengikuti pergerakanku yang tengah menuangkan air mineral ke gelas. Sebelumnya, dia menolak tawaran teh dan kopi. Tidak ingin merepotkanku, katanya. Jadilah dia hanya meminta segelas air putih.

Kuletakkan gelas di hadapannya. Pria itu masih bergeming. Kedua lengannya terlipat di atas meja. Matanya tertuju lurus kepadaku. Senyum tipis menghiasi wajahnya. Ditatap begitu intens tak ayal membuatku salah tingkah. Perlahan, pipiku memanas. Padahal pendingin ruangan sudah kunyalakan.

Demi mengalihkan fokus dari intensitas tatapannya, aku mengambil air untuk diriku sendiri dan meminumnya cepat-cepat. Seolah air itu bisa turut membasuh rasa terbakar di wajahku. Beruntung, Bintang memutuskan untuk mengarahkan atensinya ke tempat lain. Dia menyisir isi apartemen dengan matanya.

"Kamu rapi banget, ya," komentarnya, masih sambil mengamati ruang tamu di sisi kiri sebelum beralih ke ruang TV di bagian kanan.

Kemahiran mengatur ruangan sebenarnya diturunkan oleh Mama. Wanita itu pandai sekali memanfaatkan barang-barang tidak terpakai. Mengubahnya menjadi sesuatu yang bisa digunakan. Aku ingat sekali ketika aku dan Veronica menyelesaikan pendidikan dasar, kami sudah tidak lagi punya pelajaran prakarya. Beberapa kertas lipat yang menganggur di kamar kami diambil Mama. Dia melipatnya menjadi sebuah wadah untuk menaruh berbagai pernak-pernik, seperti penjepit kertas berbagai bentuk, selotip, penghapus, dan karet gelang. Benda-benda itu lantas memenuhi laci meja kerja Papa.

Mama sering memperingatkanku dan adikku untuk membereskan kamar. Jauh lebih sering daripada menegur kami untuk belajar. Sebagai anak pertama, tentunya aku memiliki tanggung jawab untuk memberi contoh pada adikku. Hingga sekarang, aku pun terbiasa untuk merapikan segala hal. Mengurutkan baju sesuai warna. Menata uang dari nominal terkecil hingga paling besar, dari yang paling kusut hingga paling baru. Semua barang ada tempatnya. Semua benda ada urutannya.

Sayangnya, hidupku tidak bisa serapi dan semudah aku mengatur benda mati.

"Karena barang saya banyak, makanya harus pintar-pintar mengatur tata letak," balasku.

Pria itu manggut-manggut. "Kamu seperti Marie Kondo versi Indonesia."

Aku hanya menanggapi dengan senyuman, lantas menggeser dua toples berisi makanan kecil. Menawarkan camilan itu pada Bintang. Dia mengambil segenggam kacang almond kupas. Mengunyahnya tanpa melepas pandang dariku.

Normalnya, aku akan bergidik jijik bila ada laki-laki yang menatapku lekat-lekat dalam waktu lama. Bahkan, aku bisa mengusirnya sesegera mungkin. Tidak dengan Bintang. Padahal, dipandangi lama-lama olehnya sebenarnya membuatku tersiksa. Serangan sensasi dan desakan aneh menjalar di tubuhku. Dadaku ikut sesak akibat pacuan jantung yang tak terkendali.

"Keadaan apartemen ini selalu seperti ini sejak kamu tinggal di sini?" lanjutnya.

"Iya. Saya nggak pernah mengubahnya."

"Apa nggak sepi tinggal sendirian di sini?"

Jawabanku keluar dalam bentuk senyum masam. Tentu saja, tinggal sendiri di apartemen tidak selalu menyenangkan. Tidak jarang aku merasa kesepian. Secara harfiah, aku tinggal di antara bumi dan langit. Jadi, satu-satunya temanku adalah pemandangan kota. Bila beruntung, burung bisa hinggap di atas langkan balkon. Selain dari itu, aku harus puas dengan kesenyapan.

"Kamu keberatan kalau mengajak saya tur keliling apartemenmu?" tanyanya, membuyarkan keheningan.

Terdesak oleh keinginan untuk enyah dari area pandang Bintang, aku mengiakan kemauannya. Aku berjalan lebih dulu. Membimbingnya ke ruang tamu yang dikelilingi jendela. Hamparan lampu kota Jakarta menjadi pemandangan kami. Di sisi lain, ada pintu yang mengarah ke kamar mandi yang bersisian dengan kamar tidur.

Falling For The ForbiddenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang