Setelah minggu yang panjang, akhirnya aku bisa sedikit bernapas lega. Tidak ada janji temu dengan klien dan semua surel telah diatur untuk dikirimkan esok pagi. Laporan dan revisi sudah masuk ke surel klien masing-masing. Aku bisa pulang tepat waktu dengan tenang. Menunggu Bintang pulang usai dia bertemu temannya malam ini.
Berbicara tentang Bintang, rutinitas padat kami minggu ini memang sedikit menjadi penghambat urusan ranjang. Setiap tiba di rumah, aku sudah kelelahan. Baru dipijat sebentar, aku sudah terlelap. Bahkan satu hari, aku pernah ketiduran di bathup. Seandainya Bintang tidak menerobos masuk, entah apa jadinya diriku. Katanya, dia sudah curiga karena aku terlalu lama berada di kamar mandi, tapi dia tidak terdengar suara air mengalir sama sekali. Katanya lagi, lubang hidungku sudah nyaris terendam air saat itu.
Aku mengingat diriku yang tergagap-gagap saat Bintang mengangkat tubuhku dari bathup. Sebelum meninggalkan kamar mandi, aku melihatnya sempat menyambar robe. Kemudian, dia mendudukkanku di ottoman di tepi bawah kasur. Tangannya bergetar saat memasangkan robe. Rambut beserta bajunya sudah basah kuyup.
Selepas itu, dia mendekap wajahku. Mempertanyakan berulang kali bila aku baik-baik saja. Aku yang masih gamang hanya mampu mengangguk. Lalu, pria itu keluar. Selang beberapa menit, dia kembali membawa secangkir teh.
Sungguh, belum pernah kusaksikan ekspresi sekhawatir itu seumur hidupku.
Tak ada satu pun dari kami yang berbicara sampai tehku tandas. Suaranya baru terdengar lagi saat dia memerintahku naik ke ranjang sebelum dia mencuci gelas di dapur. Begitu kembali, lelaki itu langsung menarik dan memelukku erat di atas kasur. Kurasakan ciumannya datang bertubi-tubi di puncak kepalaku. Samar-samar kudengar dia memintaku tidak mengulangi kejadian di bathup tadi. Saat membahas insiden itu, dadanya bergemuruh kencang di telingaku.
Aku mendongak. Berucap kata maaf dengan lirih. Bintang hanya menanggapi dengan mencium lembut bibirku.
"Inilah kenapa saya nggak bisa meninggalkanmu mandi sendirian. Lain kali, saya harus ikut mandi sama kamu," candanya saat itu.
Bahkan gurauan mesum yang biasanya mampu merilekskan ketegangan atau suasana canggung itu tidak berdampak banyak. Sudut bibirnya berkedut sekilas saat memaksakan senyum. Matanya membiaskan kecemasan. Seakan menyadari rasa bersalahku, dia mendorong pelan kepalaku hingga aku kembali bersandar di dadanya. Sampai aku terjaga pagi itu, dia masih mendekapku.
Malam itu, untuk pertama kalinya, kami tidak bercinta ketika dia bermalam di apartemen.
Kenangan itu buyar seketika saat ponselku bergetar di atas meja. Dengan setengah hati, aku meraihnya. Batinku bersiap mengumpat bila pesan singkat itu datang dari klien. Untungnya, ini hanya Veronica.
Aku mendengkus geli. Hanya. Pesan dari adikku itu sesungguhnya selalu membuatku bersemangat. Apalagi kalau kami sudah tidak bertemu berhari-hari karena kesibukanku. Bahkan aku mulai jarang bertandang ke rumahnya dan itu membuatku merasa sangat bersalah.
Veronica
Kak, lo sibuk nggak? Temenin gue makan, yuk. Gue lagi ngidam pasta di bistro dekat kantor lo, nih. Kalau lo ada meeting, pindah lokasi ke sana. Gue nggak mau tahu!
Desah napas panjang lolos dari mulutku. Aku memaklumi sekaligus geli pada sikap adikku yang semakin manja. Terakhir kali aku menyaksikan hormon mengambil alih emosi adikku adalah ketika kami pulang ke Tangerang.
Pagi-pagi, dia turun dari kamar dengan menggerutu hanya karena Damien tidak ada di sampingnya saat dia terbangun. Padahal pria itu sedang menemani Papa bersepeda. Tentu saja, seharian itu aku dimanjakan oleh gelagat keduanya yang bagai pasangan remaja yang sedang berdebat. Veronica hanya diam sekeras apa pun Damien membujuk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Falling For The Forbidden
RomanceThis story contains: - Adult language and situations (21+) - Swearing - Subject matter that some readers may find offensive and disturbing It is not suitable for younger readers. Reader discretion is advised. -- Tidak ada kakak yang lebih berdedikas...