All For You

4.5K 387 18
                                    

Warning: Explicit Sexual Content

Semenjak meninggalkan Pluie sore tadi, tidak ada satu pun dari kami yang berbicara. Selama perjalanan pulang hingga tiba di apartemen, kami masih saling membisu. Ancaman halus Bintang terngiang di telingaku setengah hari itu. Setiap bersitatap, matanya seakan ikut menyulut api gairah di sepanjang tubuhku. Setiap kali pula, pipiku rasanya seperti dibakar. Imajinasiku membayangkannya menelanjangiku. Sangat ... tidak pantas, tetapi begitu menggairahkan. Gejolak hasrat pun kian berkobar di dalam diri..

Setengah hari itu, aku sulit berkonsentrasi, apalagi bila Bintang ada di dekatku. Ketika seluruh pandangan menjauh dari kami, sudah pasti tangannya berkelana di tubuhku. Mengelus lutut, mengusap paha atau menjelajahi tulang punggungku. Dia terlihat benar-benar tidak sabar. Jadi, kupikir ketika tiba di apartemen, kami akan langsung melampiaskan nafsu manusiawi itu. Namun, Bintang malah tak kunjung mengambil kesempatan. Bahkan, dia berhenti menyentuhku sejak kami turun dari mobil. Dia tak mengeluarkan sepatah kata pun. Ekspresinya tak sanggup kutebak. Atmosfer tegang yang tercipta di antara kami ini segera membuat jantungku berderap kencang.

Akhirnya, aku berjalan mendahuluinya, mengabaikannya selagi aku melepas alas kaki. Ketika sedang menanggalkan sepatu terakhir, sepasang tangan menggapai pinggulku. Genggamannya tidak kencang, tapi cukup kuat untuk menjaga keseimbanganku yang hanya berdiri dengan satu kaki.

"Take the shoe off," tegasnya tepat di telingaku.

Bagai terkena hipnotis, aku pun menurut. Begitu sepatu menghantam lantai, tangan Bintang bergerak ke atas. Menelusuri lekuk tubuhku sekaligus membimbingku untuk meluruskan badan. Setelah menyingkirkan rambutku, tangannya yang bebas membuka ritsleting gaun.

"Kamu benar-benar mau menelanjangi saya di sini? Apa nggak bisa menunggu sampai kita di kamar?"

Bintang menyelinapkan tangan di balik gaun dan memijat pundakku. "Saya sudah pengin menelanjangimu sejak kita di Pluie, Rebecca. Saya nggak bisa menghentikan bayangan tentang saya yang membawamu ke toilet and fuck you up against the wall."

Oksigen di sekelilingku mendadak menipis. Bahkan ketika Bintang membebaskan tubuhku dari sheath dress favoritku ini, aku masih kesulitan bernapas. Kerongkonganku mendadak kering. Otot-ototku ikut lumpuh, kehilangan tenaga untuk menepis tangan Bintang yang mulai menggerayangiku. Lelaki itu merapatkan punggungku ke dadanya, membuatku langsung merasakan sesuatu yang sudah menegang di balik celana jeans-nya.

Sebelum aku mampu memahami apa yang kulakukan, pinggulku mulai bergerak. Bergoyang tepat di miliknya. Baru beberapa detik menggodanya, genggamannya di pinggangku mengetat.

"Jangan," peringatnya pelan. "I'm the one calling the shots tonight, remember?"

Aku mengangguk patuh, berpikir kalau sebentar lagi dia akan mendorongku ke dinding dan menuntaskan fantasinya yang tertahan sejak di Pluie. Namun, Bintang justru melepaskan genggaman. Pria itu berjalan ke depanku, lantas menggandengku ke dapur. Masih dilanda kebingungan, aku hanya sanggup pasrah. Ketika dia mengangkat dan mendudukkanku di meja dapur beralaskan keramik, mulutku masih terkatup.

Bintang mengambil segelas air, lantas mengangsurkannya padaku. Selagi minum, mataku tidak beranjak dari laki-laki yang tengah meletakkan kedua tangannya di tepi meja di kedua sisiku.

"Kenapa?" tanyaku.

"Kenapa apanya?" Dia malah balas bertanya.

"Kenapa melihatku seperti itu?"

Aku tidak bisa mendeskripsikan caranya menatapku. Aku bisa menangkap api membara di pupil matanya. Hanya saja, seperti ada selaput yang membungkus gairah di netranya, perlahan meredam tatapan mesumnya. Hingga entah kapan dan bagaimana, kemesuman itu benar-benar sirna. Kini, dia menatapku seperti dia tengah mengapresiasi apa yang dilihatnya. Membuatku merasa seperti orang yang paling berharga baginya. Membuatku merasa nyaman dan tenang. Meski di saat bersamaan, pipiku panas bukan main.

Falling For The ForbiddenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang