Angin malam menerpa wajah ketika aku membuka pintu balkon unit apartemenku. Satu tanganku menggenggam mug berisi teh peppermint. Sebagian orang mungkin berpikir teh mint menjijikkan. Rasanya seperti minum permen karet. Namun, tahukah kalian kalau teh mint punya efek menenangkan yang tidak kalah dengan chamomile?
Dengan hati-hati, kuletakkan mug putih kesayanganku itu ke atas meja. Sebelum duduk, aku membebaskan sebuah majalah yang sedari tadi terjepit di ketiak, lalu merogoh saku celana piyama untuk mengeluarkan ponsel dari sana. Kupandangi permadani lampu di hadapanku. Berkerlap-kerlip seolah sedang bermain kejar-kejaran. Dari lantai dua puluh gedung apartemen di pusat kota ini, riuhnya kemacetan di bawah sana berhasil tersamarkan. Hanya saja terkadang di musim hujan begini, angin malam bisa lebih dingin dari biasanya.
Aku mengeratkan kardigan rajut hadiah ulang tahunku dari Mama tahun lalu, lantas menyesap teh peppermint. Menikmati kehangatan yang berpadu dengan sensasi dingin khas daun mint. Aku meraih majalah. Mulai membaca beberapa artikel breaking news. Memanjakan mata dengan foto-foto model berbusana trendy di rubrik fashion. Memperluas wawasan dengan berita-berita feature.
Akhirnya, aku bisa bersantai usai menempuh perjalanan cukup panjang dari Tangerang ke Jakarta. Sabtu kemarin hingga Minggu sore tadi adalah jadwalku dan Veronica mengunjungi orang tua kami di Tangerang. Sudah menjadi kebiasaan bagiku dan Veronica untuk menemui Mama dan Papa setidaknya sebulan sekali.
Dulu, aku dan adikku sering sekali memanfaatkan kereta untuk pergi ke Tangerang. Sejak menikah, Damienlah yang bertugas mengantar Veronica. Bila tidak ada klien di hari Sabtu, mereka akan mengajakku pergi bersama. Karena Sabtu lalu aku ada janji temu dengan klien, aku terpaksa pergi sendiri. Kebetulan lokasi temu juga di area Tangerang. Jadi, alih-alih menggunakan kereta seperti biasanya, kuputuskan untuk mengendarai mobil. Murni karena aku mau terlihat presentable.
Sayangnya, waktu santaiku tidak berlangsung lama. Ponselku bergetar di atas meja kaca. Menampakkan nama Bintang di layar. Aku memilih mengabaikan panggilan itu. Dia masih berusaha menelepon sebanyak tiga kali. Di panggilan keempat, akhirnya aku memutuskan untuk mengangkat telepon. Mungkin dia memang menghubungiku untuk urusan janji temu kami Kamis nanti.
"Halo?" sapaku.
[Hai, Rebecca. Sedang sibuk?]
Kuhela napas dalam-dalam. Mulai skeptis bila Bintang benar-benar menelepon untuk urusan mendesak. "Tergantung."
[Tergantung dari?]
"Dari urusanmu menelepon. Kalau ini menyangkut pertemuan kita Kamis nanti, saya ada waktu untuk berdiskusi."
[Kalau saya ingin mengobrol denganmu?]
"Saya nggak ada waktu untuk mengobrol." Aku membuang napas kesal. "Saya sudah bilang, kan, nomor ini ... for business purposes only."
[Kita nggak pernah menyepakati secara spesifik urusan apa yang kamu maksud.]
"Ya, urusan pekerjaan, Bintang. Apa lagi?"
[Kamu nggak pernah bilang secara spesifik.]
Susah payah kutahan umpatan di pangkal lidah. Aku memejamkan mata. Memilih fokus pada pernapasan untuk meredam kegeraman.
Dengan penuh pengertian, aku menegaskan, "Ya sudah. Kalau begitu sekarang, saya bilang ke kamu. Hubungi saya kalau apa yang ingin kamu sampaikan berhubungan dengan pekerjaan. Dengan prospek kerja sama kita."
[Yah, saya sudah telanjur telepon. Gimana, dong?]
Aku menggeleng tidak percaya. Separuh diri masih dilingkupi kekesalan. Namun, setengah sisanya tidak kuasa menahan geli karena perilaku kekanakan bocah tengil itu. Terlebih ketika gurauannya tadi dibalut nada menggoda yang terdengar sangat menggemaskan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Falling For The Forbidden
RomanceThis story contains: - Adult language and situations (21+) - Swearing - Subject matter that some readers may find offensive and disturbing It is not suitable for younger readers. Reader discretion is advised. -- Tidak ada kakak yang lebih berdedikas...