Tanpa perlu menengok, aku sudah tahu manusia di sampingku ini sedang mengawasi gerak-gerikku. Aku berani bertaruh kalau kepalanya tengah dipenuhi pertanyaan yang sudah tidak sabar ingin dilancarkan padaku. Gerah dengan sikap penasarannya, akhirnya aku menoleh. Di waktu bersamaan, dia menggeser kursinya mendekatiku.
"You're glowing. So radiant, you're blinding me," komentarnya.
Dahiku langsung berkerut dalam. "Lebay."
Sharon menggeleng kencang. "Gue serius. Lo kelihatan ... bercahaya. In a weird way."
"Gue baru mencoba masker wajah baru kemarin. Katanya, kandungannya bisa bikin kulit lebih cerah. Apparently, it works," bohongku sambil memindah fokus ke layar komputer di hadapanku.
"Nggak. Bercahayanya ini, tuh, beda. There's no way any face masks could do this to you."
Aku mengembuskan napas panjang. "Kadang gue heran kenapa gue bisa betah banget berteman sama lo."
Perempuan berparas setengah bule itu tertawa puas. "Ah, sudah mengalihkan pembicaraan. Lo tahu apa yang orang-orang bilang soal orang yang tiba-tiba mengalihkan pembicaraan?" Dia mencondongkan tubuh. "Mereka lagi berusaha menyembunyikan sesuatu."
"Apa yang lo bilang kali. Pakai bawa-bawa orang lain. Kalau jadi skripsi, pasti lo langsung nggak lulus gara-gara gagal mencantumkan sumber kutipan."
"Ya, ya. Whatever."
Meski aku sudah sepenuhnya berkonsentrasi untuk membalas surel dari klien, Sharon masih bergeming.
"You know, gue pernah melihat aura-aura kayak gini―"
"Astaga, kita masih ngomongin ini?" potongku sembari mendorong pelan kursinya. "Kerja, Sha. Balas-balasin, tuh, email klien lo."
Bukannya menurut, rekan kerjaku itu malah kembali mendekatiku. "Gue pernah lihat aura kayak gini waktu ngaca abis gue sama Austin long weekend-an di vila di Puncak. Dua setengah hari, kita cuma 'enak-enak'. Keluar kamar kalau butuh makan―"
Kalimatnya langsung terputus saat tanganku menutup mulutnya. Bukan saja karena aku tahu dia akan mulai membicarakan hal intim, tapi juga karena volume suaranya yang kian mengeras. Rekan kerja yang kebetulan lewat mengarahkan tatapan penasaran ke kami. Segera kuulas senyum tipis sembari berharap mereka tidak mendengar ucapan Sharon.
Ketika keadaan sudah lebih kondusif, Sharon menyingkirkan tanganku. Sebelum aku sempat berkata-kata, dia sudah meneruskan kalimatnya.
"Lo abis marathon seks?" tanyanya setengah berbisik.
"Mulut lo!" geramku tertahan. "Sudah, ah. Gue nggak mau ngomongin itu di jam kerja."
Dengan kaki, Sharon mendorong kursi hingga kembali ke kubikelnya. "Oke. Gue tagih nanti waktu makan siang."
"Gue nggak bilang gue ... 'marathon', ya."
"Nggak perlu bilang. Sudah dijawab sama muka lo, tuh. Merah amat kayak rambu lalu lintas."
Refleks, aku menutup wajah. Merasakan pipiku yang memang sudah memanas. Sharon pun menikmati sikap salah tingkahku dengan tergelak puas. Namun setidaknya, dia sudah mengakhiri aksinya mempermalukanku.
Sharon tidak tahu saja kalau sejak meninggalkan apartemen pagi tadi, aku tidak berhenti memikirkan akhir pekan panas yang kulalui bersama Bintang. Sabtu itu, usai sarapan, kami mandi bersama. Tentu saja, kami tidak sekadar mandi. Walau kentara aku sangat canggung bermain di tempat licin, Bintang tidak menghakimiku sama sekali. Dia begitu sabar memanduku. Tidak keberatan bila aku minta berhenti karena aku merasa tidak nyaman.
KAMU SEDANG MEMBACA
Falling For The Forbidden
RomanceThis story contains: - Adult language and situations (21+) - Swearing - Subject matter that some readers may find offensive and disturbing It is not suitable for younger readers. Reader discretion is advised. -- Tidak ada kakak yang lebih berdedikas...