"Saya antar ke mobilmu, ya." Suara Farrell itu mengembalikan fokusku.
Aku menoleh, menyadari wajah ramah pria itu terlihat buram karena air yang membasahi bola mata. Meski begitu, aku tetap mencoba mengulas senyum lebar. Padahal, insting telah mendesakku untuk segera berlari menjauh dari tempat ini. Tinggal masalah waktu saja sampai air mataku jatuh berderai.
"Nggak perlu, Mas. Saya parkir di belakang, jadi agak jauh jalannya."
"Wah, kebetulan. Mobil saya juga di belakang."
Mengetahui tak ada celah untuk menolak, aku pun mengangguk patuh. Lebih baik menurutinya daripada berdebat dan membuatku harus berdiri lebih lama di sini. Mendengarkan celotehan tentang perempuan yang memberikan nomornya pada Bintang juga hanya ingin membuatku lekas kabur.
Kami berjalan bersisian. Ketika tahu aku akan mengunjungi orang tuaku, dia mulai bertanya seputar keluargaku. Keingintahuan dan antusiasmenya saat berbicara tentang keluarga mengingatkanku pada Bintang ketika kami berdiskusi mengenai pekerjaanku. Ah, Bintang lagi. Kapan lelaki itu enyah dari pikiranku?
Aku menghela napas panjang begitu kami berhenti di samping mobilku. "Well, this is me." Aku memutar badan untuk menghadap Farrell sambil berusaha menyuguhkan senyum tulus padanya. "It was really nice meeting you."
Sebuah senyuman tersimpul di bibirnya. "Likewise."
Lalu, tanpa permisi, Farrell mencondongkan tubuh. Tangannya ikut terulur. Kontan saja aku melangkah mundur untuk menghindari sentuhan fisik darinya. Sepertinya kepanikanku langsung tertangkap oleh Farrell, sebab pria itu juga langsung mematung.
"Oh, maaf," katanya penuh sesal. "Tadi ... saya cuma ingin membukakan pintu untukmu." Dia menarik diri. "Maaf, saya sudah membuatmu tidak nyaman, ya."
Ah, untung saja aku tidak berburuk sangka dulu!
Aku menggeleng kikuk. "Ng-nggak apa-apa, Mas."
Farrell mengulas senyum masam. Tangannya kini menggaruk bagian belakang kepala. Tubuhnya bergerak gelisah. Berulang kali, dia terlihat ingin mengatakan sesuatu. Berulang kali pula, dia mengatupkan mulut. Tak tahu apa yang harus kulakukan, aku berpikir untuk berpamitan saja. Saat hendak mengucapkan kalimat perpisahan sekaligus mengakhiri kecanggungan yang tercipta di antara kami, Farrell justru memutuskan untuk menuturkan isi pikirannya.
"Kamu tahu, sebenarnya ... saya...."
Lelaki itu mengambil waktu untuk meneruskan kalimat, membuatku langsung dirundung kegugupan. Insting sudah menebak ke mana arah pembicaraan ini. Hanya saja, aku merasa sangat tidak sopan bila memilih kabur ketika dia sudah menyingkapkan gestur ingin lanjut berbicara denganku.
Dia tertawa kering. "Pertemuan kita tadi ... it went way better than I expected. Even better than any dates I've ever had."
Aku menggeleng. "But, it wasn't a date. Pertemuan kita―"
"Pertemuan bisnis, saya tahu. But, you totally caught me off guard, Rebecca." Mendadak, tatapan pria itu berubah. Pandangannya yang lurus membuat kakiku berpijak erat di tanah. "Saya nggak menyangka kalau kamu sangat ... menarik. Ngobrol sama kamu juga sangat menyenang―"
"Saya nggak mengencani klien, Mas. Maaf," potongku sambil menggeleng.
Farrell tertegun sesaat. "Bagaimana kalau ... setelah proyek ini selesai? Kamu bisa memberi saya kesempatan?"
"Mas, proyek seperti ini selesainya bisa berbulan-bulan kemudian. By that time, Mas pasti sudah ketemu perempuan lain."
"Kamu yakin sekali."
KAMU SEDANG MEMBACA
Falling For The Forbidden
RomanceThis story contains: - Adult language and situations (21+) - Swearing - Subject matter that some readers may find offensive and disturbing It is not suitable for younger readers. Reader discretion is advised. -- Tidak ada kakak yang lebih berdedikas...