Subject: Kontrak Pluie d'etoiles Creative Space Tangerang Selatan
Dear Rebecca,
Terlampir surat kontrak final Pluie d'etoiles Creative Space Tangerang Selatan dengan Falcon, ya. Silakan disimpan sebagai pegangan Anda. Saya juga telah mengirimkan kontrak yang sama kepada klien Anda, Enrico Diraja.
Keningku langsung berkerut begitu membaca nama klien dan kedai kopi yang tertera di sana. Salah kirim atau salah ketik, ya?
Kuabaikan paragraf-paragraf selanjutnya di badan email itu dan langsung membuka lampiran dokumen. Yang pertama menarik perhatian adalah data diri sang pihak kedua. Bukan nama Bintang yang tertera di sana, melainkan Enrico Diraja. Nama kedai kopi Bintang memang tersemat di sana, tapi berubah menjadi Pluie d'etoiles dan lokasinya pun berada di Tangerang Selatan.
Tanpa basa-basi, aku menelepon karyawan yang mengirim surel ini. Aku tidak mengerti bagaimana bisa kontrak ini masuk ke surelku. Selama ini, bagian Legal cukup teliti dengan masalah surat perjanjian. Jadi, sedikit mustahil bila mereka salah mengirim kontrak.
"Halo, Mbak Tata? Ini Rebecca," sapaku langsung.
[Iya, Mbak Becca. Ada yang bisa dibantu?]
Selagi menyibukkan diri dengan mencari-cari surel pertama yang kukirimkan pada pihak Legal, aku menjawab, "Saya baru terima kontrak yang Mbak kirim. Sepertinya Mbak Tata salah mengirim surat, ya?"
Sontak, terdengar suara gaduh dari seberang sambungan telepon. Dia memintaku menunggu. Katanya, dia hendak mengecek email yang diberikan padaku.
[Salahnya bagaimana, ya, Mbak?] Suaranya mulai terdengar panik. Wajar saja. Kalau dia sampai salah mengirim email padaku, berarti dia juga salah mengirim surat kontrak ke klien.
"Klien saya Etoile Coffee Shop, Mbak. Nama klien saya adalah Mas Bintang. Ini ... kenapa detail tentang perusahaan dan klien berbeda, ya? Bukannya kita sudah koordinasi dan saya sudah pernah mengirim data dan foto KTP owner-nya Etoile ke Legal? Atau surat ini memang bukan ditujukan ke saya?"
Ketika menemukan surel yang kucari, aku langsung memeriksa isinya. Data diri Bintang jelas-jelas tertera di sana. Bahkan, aku turut memasukkan alamat email Bintang agar pria itu menerima tembusan surat itu. Kami bertiga berbalas email beberapa kali, jadi mustahil kalau Legal tidak berkoordinasi dengan Bintang.
"Klien saya Etoile Coffee Shop. Nama owner-nya Diego Bintang Mavendra, Mbak. Bukan Enrico Diraja," tegasku.
Mbak Tata tidak langsung menjawab, sehingga aku pun menunggu dengan waswas. Lalu tiba-tiba, perempuan itu mengatakan kalau dia tidak salah mengirim kontrak. Data klien memang sudah seperti yang dicantumkan di surat.
[Waktu saya memberikan draf kontrak, Mas Bintang bilang kalau yang akan menggunakan jasa Falcon adalah anaknya Etoile. Si Pluie ini. Kata Mas Bintang, pengelolanya berbeda. Penanggung jawab cabang di Tangsel ini adalah temannya, Enrico Diraja. Jadinya, Mas Bintang menyerahkan tanggung jawab ke Mas Enrico. Untuk selanjutnya, Mas Enrico yang akan jadi klien Mbak Becca. Memangnya Mas Bintang nggak memberitahu Mbak?]
Setelah mendengarkan penjelasan Mbak Tata, aku hanya mampu memejamkan mata. Rasa malu merajai diri. Amarah pun merangkak cepat sampai ke ubun-ubun. Siap untuk memecahkan kepala dan memuntahkan serangkaian umpatan kepada Bintang.
***
Rebecca
Kamu di mana sekarang?
Pesan itu kukirimkan pada Bintang beberapa menit sebelum aku meninggalkan parkiran Falcon. Di sampingku, Sharon berusaha menenangkanku. Sejak aku menceritakan apa yang terjadi berjam-jam lalu, dia mencoba meredam emosiku dengan memberi kata-kata bijak. Jujur saja, upayanya itu tidak terlalu berarti. Emosi tetap tidak mereda dan aku tidak berhenti uring-uringan sepanjang hari. Akibatnya, pekerjaanku jadi terhambat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Falling For The Forbidden
RomanceThis story contains: - Adult language and situations (21+) - Swearing - Subject matter that some readers may find offensive and disturbing It is not suitable for younger readers. Reader discretion is advised. -- Tidak ada kakak yang lebih berdedikas...