Warning: foul language
Aku menekan tepi meja. Kucondongkan tubuh agar aku dapat mendekati cermin. Mataku fokus ke pipi yang masih lebam dan sudut bibir yang menyisakan luka. Dua hari telah berlalu sejak aku mengambil cuti, tetapi warna keunguan di pipi tidak kunjung memudar. Aku tak hentinya meringis setiap membersihkan dan mengoleskan pelembab ke muka. Dan jelas akan butuh waktu berhari-hari sampai luka di bibir sepenuhnya tertutup. Aku harus rajin mengoleskan salep setiap kali selesai makan atau minum.
Seusai beres dengan urusan mandi, aku memakai kamisol satin hijau dengan renda hitam di dada. Aku membiarkan bagian bawah tubuhku hanya ditutupi celana dalam. Ketika keluar dari kamar, aku tidak bisa menepis ingatan tentang pagi pertamaku dengan Bintang di apartemen. Aku mengenakan kamisol yang sama dengan yang kupakai saat ini. Hanya saja pagi ini, tidak ada Bintang yang menyambut dan menggodaku.
Selagi tanganku mencelup dan mengangkat kantung teh, pikiranku melempar pertanyaan-pertanyaan yang bertentangan. Haruskah aku menemui Bintang hari ini? Apa kosmetik yang berjejer di kabinet bisa menutupi memar dan koyakan di bibirku? Sungguh, aku rindu dan ingin menemui Bintang. Namun, jawaban apa yang bisa kuberikan padanya kalau dia bertanya tentang bekas tamparan Farrell di mukaku?
Tiba-tiba suara ketukan pintu terdengar. Saking kagetnya, tanganku sampai melepas pegangan pada teh celup. Kertas itu kini mengapung di atas air yang telah berubah menjadi kehijauan. Cepat-cepat aku menyendok teh celup dan membuangnya.
Sang tamu kembali menggedor pintu. Kali ini, aku berlari masuk kamar. Mengambil bathrobe yang kugantung di balik pintu kamar mandi. Saat keluar, si tamu tak diundang itu menyuarakan kehadirannya lagi.
"Sebentar!" teriakku.
Aku memelesat ke pintu sambil terus mengecek bila busanaku sudah cukup sopan. Tanpa menilik melalui lubang pintu, aku langsung membukanya. Begitu mata kami bertemu, bumi seakan berhenti berputar. Jantungku pun lupa caranya memompa darah. Saraf-saraf di tubuh beku seketika, membuatku sukar bergerak.
"Bintang...." Nama itu terlantun lirih dari mulutku. Aku tidak yakin Bintang bisa mendengarnya.
Semakin lama menatapnya, semakin jelas bagiku kalau lelaki yang berdiri di hadapanku sekarang ini berbeda dari Bintang yang dulu kukenal. Sorot matanya gelap. Namun, ada secercah kerinduan yang menerobos masuk melalui netranya.
Dia juga berpakaian lebih rapi dari biasanya. Kemeja lengan panjang dan celana chino membungkus tubuhnya. Namun entah mengapa, dia malah terlihat berantakan. Tampak kehilangan arah.
"K-kamu ngapain di sini?" tanyaku parau. Sekuat tenaga aku menekan keinginan untuk menariknya ke dalam dekapan.
"I-I needed to see you—"
"G-gimana bisa kamu naik ke sini?"
"Tadi saya menumpang penghuni lain yang mau naik," jawabnya lugas.
Lalu, pandangannya bergerak turun. Mata sipitnya membulat sempurna. Iris matanya menggelap. Lebih kelam dari malam mendung. Urat-urat pun menonjol di wajahnya.
"What happened to you?" Tak hanya netranya, suaranya pun dingin selayaknya malam. Aku sampai bergidik ngeri.
Reaksiku datang terlambat. Bintang sudah telanjur menangkap luka-luka yang ditorehkan Farrell. Menutupi wajah dengan tangan tidak serta merta bisa menghilangkan memori Bintang tentang kondisi mukaku. Melihat amarah tertahan Bintang membuatku bimbang bila harus jujur dan membuatnya kian naik pitam atau membujuknya untuk tenang saja.
"Apa laki-laki di restoran itu yang membuatmu seperti ini?" lanjutnya.
"Bintang―"
"I'll fucking kill that bastard!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Falling For The Forbidden
RomanceThis story contains: - Adult language and situations (21+) - Swearing - Subject matter that some readers may find offensive and disturbing It is not suitable for younger readers. Reader discretion is advised. -- Tidak ada kakak yang lebih berdedikas...