Gumpalan di kerongkongan membesar seiring semakin lamanya waktu yang kami habiskan di tengah kecanggungan ini. Bintang tampak tidak menyadari keteganganku. Dia masih menyapa Veronica dan Damien dengan santai.
Segala kekhawatiran tentang hubunganku dan Bintang yang selama ini belum mengetuk logika lagi mulai muncul di waktu bersamaaan. Hal-hal itu seakan luput dari ingatanku selama beberapa minggu ini. Aku tidak pernah menduga akan bertemu dengannya saat sedang bersama Veronica. Sekarang, alam dan waktu seakan sedang bekerja sama untuk menegurku. Memperingatkanku tentang kesalahanku dan betapa salahnya hubunganku dengan Bintang.
Tiba-tiba aku tidak siap kalau Veronica mengetahui kedekatanku dengan Bintang. Hubunganku dengan Veronica jauh di atas segalanya. Aku tidak akan pernah membiarkan apa pun dan siapa pun menciptakan masalah di antara kami. Termasuk Bintang.
Kepanikan mulai menjajah nadi. Tanganku bergetar hebat karena rasa takut. Otakku mulai mencari cara agar Bintang lekas pergi. Setiap kali dia menoleh ke arahku, aku segera melayangkan tatapan tajam padanya. Namun, pria itu malah mengabaikannya. Dia hanya tersenyum dan tampak kian betah mengobrol dengan Veronica.
Lalu, dia menyadari kalau adikku itu sedang hamil. Dengan antusias, dia menyelamati Veronica dan Damien. Perhatiannya lantas terpusat penuh padaku.
"Kamu nggak pernah cerita sama saya kalau Veronica hamil," ucapnya.
Sontak mataku membulat. Kurasakan otot-otot di leherku menegang. Saluran pernapasanku pun ikut menyempit.
"Lho, kalian dekat?"
Pertanyaan dari Veronica itu memacu debar jantungku ke batas maksimal. Kemampuanku berbicara mendadak lenyap, terlebih ketika Veronica menatapku heran. Bila diterjemahkan dengan kata-kata, tatapan itu seakan melontarkan pertanyaan "kenapa lo nggak pernah cerita ke gue?"
Bintang terkekeh. "Iya, kami―"
Suara Bintang membawa kesadaran dan tenaga kembali mengisi tubuhku. Spontan aku memotong kalimatnya.
"Partner."
Suaraku yang cukup kencang dan terdengar panik itu menyita perhatian tiga orang di sekitarku. Raut bingung Veronica sudah lenyap. Digantikan rasa terkhianati yang terbiaskan sangat nyata dari matanya.
"Partner, maksudnya?" tanya Damien yang terlihat masih buta dengan kecanggungan ini.
"Bintang ... klien saya," jawabku cepat sebelum Bintang sanggup berbicara. "M-maksudnya, salah satu usahanya dia kerja sama dengan perusahaan saya."
Veronica mengerling ke arah Bintang sekilas. "Cabang yang di mana, Bin?"
Yang ditanya tidak langsung menjawab. Penasaran, aku pun mendongak. Rupanya Bintang sudah menatapku lebih dulu. Segala keceriaan yang melingkupinya pupus tanpa sisa. Auranya menggelap. Mata sarat kekecewaan tertuju hanya kepadaku. Dipandang seperti itu olehnya tak ayal mengoyak batinku.
"Tangsel," jawab Bintang akhirnya. "Tapi, itu lebih ke arah creative space, sih. Yang mengelola teman gue. Gue cuma bantuin modal."
Bertepatan dengan itu, pramusaji datang membawakan pesananku dan Veronica. Setidaknya selama beberapa detik, aku bisa menyingkir dari serangan mata Bintang. Namun, keberuntunganku benar-benar habis malam ini saat Damien malah menawari Bintang bergabung bersama kami.
"Sebenarnya saya baru selesai makan, sih," ujar Bintang.
"Kok tadi gue nggak lihat lo?" tanya Veronica.
"Tadi gue di atas soalnya."
Adikku itu mengangguk paham, lantas mempersilakan Bintang duduk di sampingku. Sekali lagi, aku mencoba mengiba melalui tatapanku. Memintanya untuk menolak tawaran. Dari caranya membalas tatapanku, aku tahu dia memahami maksudku. Namun, entah apa yang berputar di dalam otaknya, dia justru patuh dan menyebelahiku. Dia menerima buku menu yang diangsurkan Damien dan langsung memesan secangkir kopi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Falling For The Forbidden
RomanceThis story contains: - Adult language and situations (21+) - Swearing - Subject matter that some readers may find offensive and disturbing It is not suitable for younger readers. Reader discretion is advised. -- Tidak ada kakak yang lebih berdedikas...