Expectations

2.8K 321 40
                                    

Di lobi apartemen, heels sepatu berwarna merah muda pucat berulang kali beradu dengan lantai keramik. Bola mataku sudah melirik jam dinding lebih dari sepuluh kali sejak semenit yang lalu. Hati mulai mempertimbangkan bila sebaiknya aku kembali naik saja. Lalu, aku mengabari Farrell kalau aku tidak bisa pergi dengannya. Rasanya percuma kalau aku pergi kencan bila pikiranku sedang terpecah belah begini. Rasanya ini tidak adil bagi Farrell. Bagaimana bisa aku pergi kencan dengan Farrell ketika aku tak bisa berhenti memikirkan Bintang?

Tekadku sudah hampir membulat ketika sebuah pesan singkat muncul di layar ponsel.


Farrell

Rebecca, saya sudah di lobi. Kalau kamu belum siap, jangan tergesa-gesa. Saya bakal menunggu kamu.


Aku memandangi isi pesan selama beberapa detik. Mendadak merasa sungkan kalau membatalkan janji ketika Farrell sudah berada di gedung apartemen. Kalau memakai alasan sakit, bagaimana kalau dia berinisiatif menemuiku di unit apartemen? Kebohongan apa lagi yang akan kuutarakan padanya?

Pada akhirnya, aku memutuskan menjalani kencan ini saja. Setelah mengambil napas dalam-dalam, aku bangun dari sofa dan melangkah ke depan lobi. Farrell menjadi hal pertama yang kulihat saat aku keluar. Dia berdiri tepat di samping pintu penumpang sebuah mobil sedan hitam mewah. Tanpa perlu menelaah label, aku juga tahu pakaian yang dikenakannya bukan dari merek sembarangan. Sebuah logo rumah fesyen ternama yang memenuhi kerah kemejanya saja sudah cukup mencolok. Celana bahan terlihat sangat pas di kakinya. Tampak memang sengaja dibuat khusus untuknya.

Pria itu segera menghentikan aktivitas mengobrol dengan doorman ketika matanya menangkap kehadiranku. Untung sang doorman juga cepat tanggap. Dia lantas berpamitan pada Farrell, tetapi teman kencanku malam ini hanya menanggapi ala kadarnya. Atensinya telah terpusat penuh padaku.

"Hai," sapanya.

"Hai, Mas."

Farrell melarikan pandangannya dari kepala hingga ujung sepatuku sekali lagi. "Wow. Kamu ... you look stunning."

Aku mengulas senyum malu sambil mengucap terima kasih. "Saya berharap pakaian saya nggak berlebihan."

"Oh, nggak. You look perfect. Dua kali bertemu saya, kamu selalu pakai dress hijau dan selalu cocok di kamu. Kelihatannya hijau memang warnamu," komentarnya.

Sekali lagi, aku mengatakan terima kasih dengan lirih. Rasanya sulit sekali mengeluarkan suara ketika aku menahan tangis, sebab komentar Farrell tadi mengingatkanku pada percakapanku dengan Bintang di Pluie. Perbincangan ketika Bintang mengomentari gaun hijauku dan aku mengoreksi dengan menyebutnya emerald green.

Ah, ya, Tuhan. Hanya gara-gara sebuah ingatan yang benar-benar tidak penting, dadaku sudah terasa seperti diperas habis begini. Pandangan pun ikut buram lantaran air telah membasahi bola mata. Indra pendengaran juga mendadak tuli. Tak mampu menangkap kalimat panjang lebar yang diucapkan Farrell. Nyawaku seperti baru kembali merasuki tubuh kala aku merasakan sebuah benda hangat menyentuh punggungku.

"Siap pergi?" tanya Farrell, masih dengan senyum semringahnya. Tampak tak terganggu dengan sikapku yang mengabaikannya tadi.

Aku mengangguk seadanya. Farrell lantas menuntunku memasuki mobil. Malam ini, Farrell cukup bawel, membuat pikiranku jadi sedikit teralihkan dari Bintang.

"Tadi siang, kamu jadi ketemu klien?" tanya Farrell. Memang setengah hari ini, aku ada jadwal bertemu dua klien.

"Jadi, Mas."

"How did it go?"

"Lumayan. Deal dua-duanya."

Farrell tergelak. "Kamu merendah sekali. Securing two deals dibilang lumayan. Well, saya akui, sih, kamu memang pintar meyakinkan klien. Saya nggak merasa ragu sama sekali waktu memutuskan menerima kontrak kerja sama dengan Falcon. I just know the project will be in good hands."

Falling For The ForbiddenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang