A Gentleman

3.4K 435 4
                                    

Di luar dugaan, meski ketertarikan Bintang untuk menggunakan jasa Falcon awalnya terkesan main-main, dia tampak bersungguh-sungguh ketika mendengarkan pitching dariku. Aura tengilnya berubah pesat. Seakan dia memiliki tombol untuk memilih identitas mana yang ingin ditampilkan. Saat ini, di hadapanku, dia terlihat sangat profesional. Tak ada kaus oblong dan jaket kulit. Tubuhnya dibalut kemeja biru dongker polos. Rambutnya disisir ke belakang, sehingga tekstur ikalnya sedikit tersamarkan.

Selama berdiskusi, dia tidak segan melontarkan pertanyaan-pertanyaan kritis. Kompetensi desainer, fotografer, dan videografer kami tak luput dari inspeksinya. Dia juga sempat menanyakan bisnis serupa dengannya yang sukses bekerja sama dengan Falcon. Bagaimana strategi dan konten yang kami rancang untuk mereka. Bagaimana cara kami mengukur kesuksesan sebuah iklan, terutama yang offline.

Selama hampir sepuluh tahun menekuni dunia sales, baru kali ini, aku menemui klien sekritis ini. Bahkan dia pun mempertanyakan track record-ku. Perusahaan apa saja yang sudah kutangani. Tender apa yang pernah kumenangkan. Bagaimana rutinitasku di kantor. Untuk pertanyaan terakhir itu, dia beralasan ingin mengetahui bila aku konsisten dengan pekerjaan. Sebagian besar dari diriku merasa skeptis. Aku percaya kalau dia hanya ingin mengulik tentang diriku.

"Jadi, setelah semua iklan disebar dan diunggah, laporannya akan dikirimkan ke saya setiap awal bulan, ya?" ujar Bintang.

"Betul."

"Saya dapat laporannya dari kamu, kan?"

Aku mengembuskan napas panjang. Instingku mengatakan dia akan segera berubah ke wujud aslinya: Bintang tengil yang jago menggoda. Apalagi ketika senyum miring sarat makna tercetak di bibirnya.

"Iya. Kalau kita resmi bekerja sama, saya akan kirimkan laporan setiap awal bulan lewat email, ya." Sengaja aku memberi penekanan pada kata email.

Bintang mengangguk pelan sebelum berucap, "Oke."

"Oke. Great. Jadi, setelah apa yang kita bicarakan tadi, apa menurutmu Falcon cocok dengan value Etoile? Apa menurutmu kita bisa bekerja sama?"

Bibir Bintang mengukir senyum lebar. "Oke-nya saya tadi itu memang untuk mengiakan kerja sama kita, Rebecca."

Pria itu lantas mengulurkan tangan. Aku yang masih mencoba memproses situasi hanya mampu menatap tangannya. Sekali lagi, aku memastikan bila indra pendengaranku tidak salah. Bintang mengangguk mantap. Mengulangi bila dia ingin menjadi klienku.

Aku menjabat tangannya. Kehangatan akibat sentuhan dengan Bintang menjalar hingga ke tulang. Genggamannya begitu kuat. Dengan genggaman seperti ini, aku tidak menyangsikan kemahirannya memijat.

Harus banget yang dipikirin sekarang malah pijatannya Bintang, Beck?

Peringatan yang muncul tiba-tiba di kepala itu membuatku menarik tangan secara refleks. Ekspresi pria itu tidak banyak berubah. Dia masih mempertahankan senyum di bibirnya.

"Oke. Well, kalau begitu, saya akan segera buatkan kontraknya. Lalu, kita bisa menjadwalkan pertemuan selanjutnya untuk tanda tangan kontrak itu," tutupku.

"Sounds like a plan."

Aku mengangguk seraya merapikan catatan di atas meja. Usai menyesap sisa cafe latte, aku berpamitan pada Bintang. Pria itu ikut beranjak. Menawarkan diri untuk mengantarku sampai ke mobil. Sontak, kutepuk jidat sendiri karena lupa kalau hari ini, aku tidak menyetir mobil.

Sekembalinya dari Tangerang, mode transportasi andalanku itu protes. Dinamo starter mobil tidak lagi berfungsi. Sialnya, pihak bengkel kehabisan stok dinamo starter untuk jenis mobilku. Jadi, suka tidak suka, aku harus menginapkan mobil di bengkel. Aku baru mendapatkan kabar siang tadi kalau kemungkinan besar mereka akan mendapatkan barangnya besok.

Falling For The ForbiddenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang