This chapter includes alcohol use and harassment
Farrell menuntunku masuk ke sebuah restoran mewah di pusat kota. Dia menyebutkan namanya kepada resepsionis. Kira-kira hanya butuh waktu lima detik bagi perempuan bersanggul di hadapan kami untuk menemukan nama Farrell. Sebentar kemudian, perempuan itu mengantar kami ke dalam restoran.
Sesampainya kami di meja pesanan, Farrell langsung menarik kursi untukku selagi resepsionis tadi memanggil pramusaji. Setelah itu, barulah Farrell menempati kursinya. Selama beberapa saat, kami tenggelam dalam menu masing-masing. Sejenak, aku terselamatkan dari tatapan Farrell yang berusaha kuhindari sejak kami turun dari mobil.
Setelah Farrell bertanya bila aku dapat memberikan atensi seutuhnya padanya malam ini, aku tidak memberi jawaban pasti. Aku rasa dia pun memahami keenggananku menjawab, sebab dia sendiri yang kemudian menarik pertanyaannya. Katanya, dia merasa telah meminta terlalu banyak dariku. Dia menyadari tidak semestinya dia melempar beban ekspektasinya padaku. Aku juga sadar betul kalau aku tidak bertanggung jawab pada ekspektasinya.
Lamunanku tercerai berai ketika Farrell memanggilku. Dia sudah siap dengan pesanannya. Sementara aku belum membaca menu sama sekali. Spontan, aku kebingungan memilih makanan. Farrell lantas memintaku tidak tergesa-gesa. Sebelum mengembalikan konsentrasi ke buku menu, aku sempat melihatnya menyunggingkan senyum masam, membuatku merasa bersalah bukan main. Laki-laki itu pun turut mengalihkan fokus dengan memanggil pramusaji dan meminta sebotol anggur merah.
Biasanya, anggur merah bukanlah pilihan minuman beralkohol favoritku. Aku tidak terlalu suka mengonsumsi minuman keras. Hanya saja bila harus memilih, aku lebih menyukai anggur putih. Namun di kencan kali ini, aku tidak memprotes pilihan Farrell. Mungkin aku pun akan butuh anggur merah untuk bisa melalui malam ini.
Usai menuangkan anggur ke gelasku dan Farrell, pramusaji mencatat pesanan dan berlalu. Tanpa basa-basi, aku langsung menyesap anggur. Sementara mataku menangkap Farrell yang tengah mengamatiku. Tangannya memutar gelas anggur. Dia menghirup minuman beralkohol itu sebelum menyesapnya.
"Saya kelihatan amatir banget untuk urusan minum anggur, ya." Aku mencoba mengurai kecanggungan dengan gurauan.
Farrell tertawa kecil. "Nggak masalah. Kamu memang nggak biasa minum?"
Aku menggeleng. "Takut penuaan dini."
Pria itu tergelak. "Pantas kamu kelihatan awet muda. Saya sampai khawatir dikira sugar daddy-nya kamu."
"Mas nggak kelihatan tua juga kok," sanggahku. "Kayaknya orang percaya-percaya saja kalau kita bilang kita seumuran."
"Kalau memuji, kamu memang nggak suka setengah-setengah, ya. Sudah nyaris 40 tahun gini masih dibilang seumuran sama kamu."
"Masih ada dua tahun sebelum sampai umur 40, Mas."
Saat dia mengirimkan data diri dan scan KTP melalui surel, aku sempat mengecek tahun lahirnya. Entah mengapa aku melakukan itu. Mungkin aku hanya ingin memastikan ucapannya di restoran kala itu benar: kalau dia memang berusia 38 tahun. Masalahnya, lelaki ini memang tidak terlihat nyaris 40 tahun.
Mengenang hal itu membuatku kembali teringat pada Bintang. Pasalnya, aku juga menerapkan cara yang sama ketika ingin memastikan usia Bintang dulu: menelisik kartu identitasnya.
Ya, Tuhan. Mengapa setiap kali membuka mulut atau mendengar Farrell berbicara, aku selalu teringat Bintang? Kalau begini caranya, entah bagaimana aku bisa melalui malam ini.
Refleks, aku mengambil gelas anggur. Berusaha menenggelamkan memori-memori tentang lelaki itu di setiap tengukan cairan berwarna merah pekat itu.
"Whoa. Easy there, Rebecca," tegur Farrell. Tangannya terjulur. Ujung jarinya telah menyentuh pergelangan tanganku. "You okay?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Falling For The Forbidden
RomanceThis story contains: - Adult language and situations (21+) - Swearing - Subject matter that some readers may find offensive and disturbing It is not suitable for younger readers. Reader discretion is advised. -- Tidak ada kakak yang lebih berdedikas...