What Do You Say?

5.3K 521 9
                                    

Nyaris dua jam telah berlalu. Pria yang seharusnya menemaniku sore ini tak menampakkan wujudnya hingga sekarang. Bagai raib ditelan bumi, dia tak bisa dihubungi. Pesan-pesan dariku diabaikan. Sempat terlintas keinginan untuk menelepon. Di saat bersamaan, aku enggan terkesan mengemis. Mungkin aku putus asa mencari jodoh, tapi aku tidak akan merendahkan harga diri hanya untuk mengejar laki-laki.

Pada akhirnya, aku pun menerima kenyataan. That I got stood up. Memang ini bukan yang pertama kalinya terjadi. Hanya saja, rasanya tetaplah menyebalkan.

Belum puas mengutuk keadaan, kehadiran seseorang menyita atensiku. Sebelah tangannya menggenggam sebuah mug hitam. Sepasang mata cokelat gelap memandangku lembut. Tidak ada sorot prihatin. Seakan dia tidak tahu kalau aku ditinggalkan calon teman kencan.

"Kursi ini sudah menganggur hampir satu setengah jam. Boleh saya saja yang menempati?" tanya Bintang.

Setelah setengah jam berada di area outdoor tadi, Bintang mengajakku kembali masuk ke kedai karena ada pengunjung yang baru saja pergi. Bahkan dia menyuruh anak buahnya bergegas membersihkan meja. Belum pernah aku diperlakukan spesial seperti ini. Justru aku yang biasanya menjamu dan memastikan klien merasa spesial. Jadi, tentu saja, gestur Bintang itu cukup menyentuhku. Bisa-bisanya di tengah kepadatan aktivitas kerja, dia meluangkan waktu untuk memberiku tempat duduk kosong di dalam kafe.

"Sampai kafe ini tutup rasanya kursi itu akan tetap kosong. So, please."

Masih mempertahankan senyum tulus, Bintang menduduki kursi. Dia menarik kursi hingga dadanya nyaris melekat pada tepi meja. Disesapnya isi mug secara perlahan. Lalu, dia menaruh mug itu ke atas meja. Semua itu dilakukannya tanpa melepas kontak mata denganku. Entah mengapa, aku pun enggan menatap yang lain kecuali dirinya.

"It's his loss," ucapnya tiba-tiba.

Aku mendesah panjang. "Hopefully."

"Oh, it is. Trust me. Karena bila berada di posisinya ..., melihat teman kencan saya adalah kamu...."

Bintang sedikit menarik diri. Bola matanya berkelana ke bagian atas tubuhku. Di luar dugaan, dia memiringkan badan. Mengamatiku hingga ujung kaki sebelum memusatkan perhatian kembali padaku.

Pria itu berdecak. "Saya nggak akan menyia-nyiakan waktu sedetik pun untuk mengenalmu. Heck, saya sampai kesulitan menahan diri di balik meja barista. Rasanya saya ingin cepat-cepat menghampirimu."

Spontan aku melepas tawa kecil. Entah apa yang lucu. Mungkin aku memang geli pada caranya merayu. Atau aku hanya ingin menutupi diriku yang salah tingkah.

Kuabaikan jantungku yang tiba-tiba berdetak cukup kencang dengan menyesap es limun. Minuman keduaku setelah caffe latte tadi.

"Mungkin teman kencan saya sudah bisa mengira-ngira kalau saya membosankan, jadi dia nggak mau membuang waktu bersama saya."

Bintang mendengkus. Dari senyum miringnya, aku bisa melihat dia tidak setuju dengan ucapanku.

"Kamu? Membosankan? Please. Yang ada, kamu terlihat bosan dan pria-pria di luar sana sudah sedari tadi mengamatimu. Kalau saya tidak segera duduk di sini, salah satu dari mereka pasti akan masuk dan mendekatimu."

"Mungkin sebaiknya kamu biarkan saja mereka menemani saya."

"No way. They're all arsholes."

"And you think you're not?"

Lelaki berkulit putih itu mengangkat sebelah bahu sekilas. "I'm a better arsehole."

"Jelaskan pada saya. 'Better arsehole' itu maksudnya adalah kamu laki-laki berengsek yang lebih baik dalam beretika pada perempuan atau kamu lebih pandai dalam menjadi laki-laki berengsek?"

Falling For The ForbiddenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang