As Bright As The Sun

4.2K 358 13
                                    

Entah sudah berapa menit aku habiskan dengan berjalan mondar-mandir di koridor rumah sakit. Ujung tangan dan kaki dingin bukan main. Jantungku memberontak di balik rongga dada. Kerongkongan rasanya seperti sedang dicekik. Pikiran terasa begitu penuh.

Ya, aku memang khawatir. Hanya saja, ada adrenalin bercampur euforia yang ikut mengaliri nadi. Pasalnya, dokter atau perawat bisa keluar kapan saja dan mengabarkan kalau anggota keluarga kami telah bertambah. Dan aku akan menjadi seorang tante!

Ah, kedengarannya aneh sekali kalau menyebut diri tante. Rasanya aku seperti perempuan berumur yang punya pacar brondong. Eh, tunggu. Aku, kan, memang punya pacar brondong.

Ngomong-ngomong soal pacar, pria itu baru saja menginjakkan kaki di koridor area bersalin. Setengah berlari, dia menghampiriku. Saat mengetahui Veronica akan melahirkan, aku langsung mendatangi rumah sakit tanpa menunggu Bintang. Aku memberitahu agar lelaki itu langsung menemuiku di rumah sakit saja. Alhasil, dia jadi harus putar arah. Dan kami harus membatalkan janji kencan yang sebenarnya telah kami tunggu-tunggu usai beberapa minggu terakhir waktuku banyak tersita lantaran naiknya pangkatku di Falcon.

Ya, jabatan senior account executive itu akhirnya dipercayakan padaku. Bangga, iya. Senang, iya. Ketambahan pekerjaan? Stres! Apalagi karena aku jadi kerap mengabaikan Bintang. Untungnya, dia tidak pernah mengeluh, membuatku jadi makin merasa bersalah. Namun sebenarnya, di saat bersamaan, bertumbuh juga rasa seganku padanya.

Pernah satu hari aku bertanya bila dia ingin protes karena aku suka kerja lembur dan tidak ada waktu untuknya. Maksudnya, aku akan merasa lebih baik bila dia memberitahuku atau meluapkan emosinya dibanding hanya diam dan memendamnya dalam hati.

Tahu jawabannya?

"Kamu sudah capek kerja seharian. Mendengarkanku mengeluh tentang kurangnya quality time sama kamu nggak akan membantumu atau mengurangi pekerjaanmu. Yang ada, aku malah merusak suasana hatimu, lalu malam kita bakal jadi berantakan. If I can't help you, I don't have the right to complain to you."

Cuma, bukan Bintang namanya kalau tidak merusak momen romantis dengan melancarkan kalimat pamungkas sarat kemesuman.

"But, if I can ..., I think I deserve a 'reward'."

Tentu saja hadiah yang dimaksudnya adalah aktivitas ranjang. Apalagi saat itu, sorot jahil dan senyum miring penuh arti sudah terlukis di wajahnya. Alis matanya pun ikut bergerak naik turun dalam tempo cepat. Biasanya, rayuannya akan berhenti di sana, terlebih bila dia melihatku terlalu lelah untuk diajak bercanda. Dia tidak pernah memaksa, sekalipun aku tahu dia sudah sangat ingin melancarkan niat untuk menyatukan tubuh kami. Di atas semua itu, dia tidak segan meninggalkan apa pun yang dikerjakan demi aku. Seperti ketika aku meneleponnya dengan panik setelah menerima kabar dari Damien kalau Veronica sedang dalam perjalanan ke rumah sakit. Dia tidak mengeluhkan tertundanya kencan kami. Dia memilih menemaniku di koridor bersama Mama dan Papa.

"Duduk, Rebecca." Bintang meraih tanganku saat aku lewat di depannya.

"Mereka lama banget di dalam," balasku, tak menggubris permintaannya.

"Ya, kamu mondar-mandir juga nggak membantu mempercepat waktu juga, sih, babe."

Benar, sih. Cuma, kalau jalan-jalan, setidaknya energi-energi negatif seperti kegugupan bisa tersalurkan. Kalau hanya duduk, kekhawatiran rasanya menggumpal di dalam tubuh.

"She'll be fine." Bintang mencoba meyakinkanku. "Dia cewek kuat. Sama kayak kakaknya."

"Cuma, kan, kakaknya belum pernah melahirkan. Gimana bisa dibandingin sama aku, coba?"

Kekasihku itu menghela napas. "Ya, kayak mamamu, deh. Udah menelurkan dua anak. Terbukti kuatnya, kan?"

Aku melirik Mama. Wanita itu hanya mengumbar senyum tipis. Dia lantas mengomentari kebiasaanku yang gemar tenggelam dalam emosi negatif kalau sedang di bawah tekanan. Kadang-kadang pesimis. Lebih suka memikirkan yang jelek dulu. Persis seperti dirinya.

Falling For The ForbiddenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang