Pintu di hadapanku terbuka. Seorang perempuan menyambutku dengan senyum lebar. Rambut hitamnya yang terikat tinggi memunculkan semburat biru tua. Sekalipun sedang sulit makan, perempuan itu tetap terlihat lebih berisi daripada aku.
"Ah, hansip pribadi gue sudah datang," guraunya.
Aku berdecak sebal sembari memasuki rumahnya. Tanpa rasa sungkan, aku melangkah ke dapur. Menaruh tas belanja di atas meja dapur, lantas mengeluarkan buah-buahan yang bersemayam di dalamnya.
"Damien belum balik?"
Veronica menggeleng. "Seharusnya sebentar lagi dia sampai, sih. Meeting terakhirnya sudah jam empat tadi." Dia mengambil tas dari tanganku. "Sini, biar gue saja. Lo mandi dulu, Kak."
Karena aku sering bertamu cukup lama, Veronica kerap memintaku mandi di rumahnya. Biasanya dia juga sudah menyiapkan pakaian bersih untukku di kamar mandi tamu. Selepas membersihkan diri, aku kembali ke dapur. Veronica sudah tidak sendiri. Damien bergabung bersamanya di dapur. Hanya saja, mereka sedang tidak bekerja sama untuk memasak. Justru sibuk berciuman panas sampai tidak mendengarku mendekati mereka.
Aku berdeham kencang. Memaksa dua insan yang sedang dimabuk asmara itu mengakhiri momen intim. Keduanya terkikik, membuatku ikut menyembunyikan senyum geli.
"Sorry," ucap Damien saat menghampiriku.
Aku mengibaskan tangan. Pria itu melepas tawa ringan sebelum kami saling mencium pipi. Dia lantas mengatakan akan menyusul kami setelah mandi. Aku bergegas mendekati Veronica dan membantunya menyiapkan makan malam kami.
"Kalian nggak bisa menunggu sebentar sampai gue pulang?" candaku.
Veronica mengembuskan napas panjang. Reaksi yang tidak kuduga sama sekali. Aku segera merasakan ada sesuatu yang tidak beres. Raut kecewa terpampang jelas di wajahnya.
"Doesn't matter. We're not gonna have sex tonight anyway."
"Why?"
Adikku itu mengangkat kepala. Melempar desah napas panjang ke langit-langit. Seolah sedang mencoba melepas beban tak terucap yang menggelayut cukup lama di pikirannya.
"Kami sudah nggak 'main' dua bulan terakhir ini. Damien terlalu khawatir sama kehamilan gue, Kak. Padahal dokter sudah bilang, selama berhati-hati, nggak masalah kalau kami berhubungan badan. Cuma dia takut tiba-tiba gue mual atau sakit atau janin gue kenapa-kenapa. Jadi, begitulah. Kebutuhan biologis gue lagi kurang asupan. Dia cuma berani 'main' pakai tangan atau o―"
"Oke, gue nggak butuh tahu itu," potongku cepat, meloloskan tawa puas darinya.
Dia menyenggol lenganku. "Lo masih malu-malu saja ngomongin seks, Kak."
Aku memutar bola mata. Setelah beberapa lama kami tenggelam dalam aktivitas memasak, akhirnya aku kembali bersuara.
"Gue yakin Damien juga kangen banget 'main' sama lo, Dik. Dia cuma pengin menjaga lo dan anak kalian."
"Iya, gue tahu kok." Tiba-tiba perempuan itu mengerang malas. "Ah, gue nggak sabar trisemester pertama ini kelar, nafsu makan balik seperti semula, dan gue nggak mual-mual lagi. Gue sayang sama calon anak gue, Kak. Gue mau dia sehat. But, man, I can't wait for this to be over."
"Tumben lo kayak bocah begini. Merengek nggak keruan."
"Ini hormon gue yang ngomong." Dia berlalu sejenak untuk mengambil mangkuk. "Gue butuh kehidupan seks kami kembali normal."
"Ini hormon lo juga yang ngomong?"
Veronica mengambil mangkuk yang sudah dipenuhi lauk. "Nggak. Ini gue yang ngomong."
KAMU SEDANG MEMBACA
Falling For The Forbidden
RomanceThis story contains: - Adult language and situations (21+) - Swearing - Subject matter that some readers may find offensive and disturbing It is not suitable for younger readers. Reader discretion is advised. -- Tidak ada kakak yang lebih berdedikas...