Epilogue

6.6K 399 27
                                    

Rentetan ketukan pelan di pintu di belakangku menyita perhatian semua orang yang berada di ruangan ini. Begitu pula denganku. Aku mematut diri di kaca sekali lagi, memastikan penampilanku sudah paripurna. Ketika pintu terbuka, wajah yang muncul adalah orang yang sudah lama tak menampakkan diri langsung di hadapanku.

"Hai," sapanya pelan. Ekspresinya tampak tak yakin. Padahal biasanya, kepercayaan diri selalu melekat pada dirinya.

Dengan gerakan tangan, aku mengisyaratkan agar dia lekas masuk. Pria itu mendorong pintu, menyingkapkan seorang perempuan mungil di sampingnya. Sambil bergandengan tangan, keduanya memasuki ruangan. Semakin dekat, semakin aku bisa melihat jelas cahaya di wajahnya dan binar di sepasang mata serupa kacang badam itu. Bahkan senyuman lebar yang memamerkan deretan gigi rapinya terlihat begitu menyilaukan. Seumur hidup, bahkan ketika menjalin hubungan dengan adikku dulu, dia tidak pernah mengeluarkan aura secerah ini.

Dia melepas genggaman dari istrinya sesaat untuk memelukku. Ucapan selamat dan doa terlantun tulus. Sukses membuat mataku kembali berkaca-kaca. Kesediaannya datang dari Inggris untuk menghadiri hari besarku turut membanjiriku dengan rasa haru dan kebahagiaan tak terperikan. Dia lantas memberi kesempatan pada sang istri untuk menyelamatiku selagi menyapa kedua orang tuaku.

"Thank you, ya, Zach dan Charity sudah mau datang," kataku. "Jetlag nggak?"

Charity mengangguk. "Karena ini pertama kalinya saya terbang jauh keluar Eropa. Tapi, ini sudah lebih baik dari hari-hari sebelumnya kok."

Lalu, perempuan berambut cokelat itu mengalihkan pandang ke pasangan di sampingku. Senyumnya mengembang kian lebar. Langkah kecil diambilnya dengan hati-hati.

"So, this is the sweet little Julie everybody's talking about."

Seakan tahu sedang dipuji, keponakanku yang tengah digendong Veronica langsung tertawa girang. Tangannya yang terkepal bergerak naik turun dengan antusias. Ketika Charity menggelitik dada Julie, bocah itu seketika menggenggam telunjuk Charity.

"Wah, sepertinya sudah ada yang siap punya junior, nih," celetuk Damien, bertepatan dengan Zach yang berjalan menghampiri istrinya.

Zach melayangkan tatapan penuh arti ke Charity. "Kalau saya, tergantung istri siap kapan. Kalau sudah siap, gampang, langsung gas."

"Memangnya selama ini juga nggak langsung gas?" sambung adik iparku.

"Ya, tetap gas, sih. Mau bagaimana lagi? Kan, kebutuhan."

Kelakar sahabatku itu langsung dihadiahi sikutan pelan dari Charity. Damien pun diganjar tatapan datar dari Veronica yang sibuk menutup telinga Julie, enggan mencemari pendengaran sang anak dengan pembicaraan manusia dewasa. Sementara Mama dan Papa hanya menyembunyikan tawa sambil menggeleng pelan.

Tiga tahun lalu, rasanya mustahil membayangkan sahabatku bisa akrab dengan mantan saingannya. Terlebih karena dulu, mereka pernah sampai adu jotos karena memperebutkan Veronica. Namun, kurasa benar apa yang banyak orang katakan, bahwa waktu dan pengalaman bisa mendewasakan seseorang.

Pertemuan Veronica dengan Damien, kesabaran dan cinta pria itu berhasil mengembalikan kepercayaan adikku pada cinta. Dan Charity memberikan dua bulan terbaik dalam hidup Zach. Dua bulan yang mengajarkan sahabatku makna cinta sesungguhnya. Cinta yang tidak egois. Sekarang, Veronica dan Zach sama-sama tidak bisa membayangkan hidup mereka tanpa pasangan masing-masing. Begitu pun denganku. Siap menyongsong masa depan dengan pria yang siap bersumpah di hadapan Tuhan dan saksi untuk mendampingiku seumur hidup. Pria yang membuka mataku tentang cinta dan jalan hidup.

Baik cinta maupun hidup tidak selalu berjalan berdampingan dengan idealisme. Namun, bukan berarti hal yang melenceng dari idealisme kita adalah sesuatu yang tidak baik untuk kita. Bahkan terkadang, apa yang kita dapatkan jauh melebihi apa yang kita harapkan. Seperti Bintang di dalam hidupku.

Falling For The ForbiddenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang