Like The First Time

4.6K 364 14
                                    

Warning: Explicit Sexual Content

Wajah Bintang menjadi hal pertama yang memenuhi pandanganku ketika membuka mata pagi ini. Tanpa sadar, kedua ujung bibirku tertarik ke atas. Jemariku sudah tinggal beberapa sentimeter lagi dari pipinya, hendak merasai kulitnya. Namun, niatku urung sebab pria di sampingku ini tidur begitu pulas. Aku tidak sampai hati membangunkannya.

Akhirnya, aku memutuskan untuk turun dari kasur. Berjinjit menuju lemari sembari sesekali menoleh ke belakang, memastikan Bintang masih tidur. Aku sudah mengambil kamisol hijau emerald berbahan satin yang jatuh tepat di bawah pantat. Hanya saja, mengingat reaksi Bintang saat terakhir kali aku berpakaian minim di apartemen, aku pun memilih melapisinya dengan bathrobe. Lagi pun, lingerie ini tembus pandang di bagian tengah sampai beberapa senti di atas pusar. Tahu sendiri Bintang mudah terpancing dan aku juga tidak ingin menjadi stimulus yang membangunkan hasrat kelaki-lakiannya sedini ini.

Aku lantas menuju dapur. Menyeduh teh hijau untuk memulai hariku. Tak lupa juga aku mengambil ponsel yang tak kusentuh sejak menjejakkan kaki di apartemen kemarin sore. Beberapa pesan curhatan dari grup kantor kuabaikan. Enrico sempat meninggalkan pesan berupa ucapan terima kasih semalam. Buru-buru aku membalasnya, sekalipun jarum jam masih menunjukkan pukul enam pagi.

Sambil menyesap teh, aku mengarah ke balkon. Angin pagi yang segar langsung menyapa begitu pintu geser terbuka. Aku meletakkan mug di atas meja dan membaca cepat tajuk utama berita pagi ini di ponsel. Detik itu, baru kusadari kalau aku sudah tidak melakukan rutinitas ini semenjak bertemu Bintang. Namun sebelum Bintang juga, aku belum pernah bangun dengan suasana hati sebaik ini. Ada perasaan manis yang terselip di batin saat terbangun di sampingnya tadi. Ada pula sensasi hangat di hati saat menatap wajahnya yang damai, seolah tidak ada satu pun permasalahan di dunia ini.

Lamunanku mendadak kacau saat ponselku mengeluarkan nada dering panggilan masuk. Aku menatap nama yang terpajang di layar dengan kerutan dalam di dahi. Walau selalu dituntut siap sedia dihubungi klien kapan saja, aku tetap manusia biasa yang bisa kesal dan merasa terganggu. Apalagi bila klien menghubungiku di hari Minggu. Pukul enam pagi pula. Tahu dari mana dia kalau aku sudah bangun?

"Halo?" sapaku dengan suara senetral mungkin selagi berjalan mendekati langkan.

[Hai, Mbak Rebecca. Pagi. Maaf, saya mengganggu Minggu paginya Mbak.]

Memang. "Nggak apa-apa, Mas Efraim. Bagaimana? Ada yang bisa saya bantu?"

[Hm, iya. Kira-kira ... kita bisa ketemu besok pagi nggak, ya? Untuk membahas rancangan desain iklan offline.]

"Pagi, ya, Mas? Jam berapa?"

[Kalau jam sembilan pagi, bagaimana?]

"Se-sembilan?"

Kafe atau restoran apa yang buka pukul sembilan pagi? Restoran cepat saji 24 jam? Gerobak ketoprak depan kantor?

"Siapa?"

Suara di belakangku itu sontak memeranjatku. Nyaris saja aku berteriak kaget dan melepas pegangan pada ponsel. Di ambang pintu, berdirilah Bintang yang hanya mengenakan celana panjangnya.

Sial! Melihatnya bertelanjang dada malah kian menceraiberaikan konsentrasiku. Segera saja kupalingkan wajah. Tanganku spontan membekap bagian bawah ponsel.

"Klien," jawabku lirih.

Bintang mengikis sisa ruang di antara kami. "Mau apa?"

"Ketemu."

"Sekarang?"

Aku tergugu-gugu saat pria itu menempatkan tangannya di kedua sisiku dan berpegang erat pada langkan. Sementara itu, iris matanya mengunci tatapanku.

Falling For The ForbiddenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang