Suara hak sepatu yang mengentak ubin terdengar dari kejauhan. Sejurus kemudian, seorang perempuan menghentikan langkah di depan kubikelku. Dari wewangian mawar yang menusuk indra penciuman, aku bisa menebak siapa yang menghampiriku. Selama hampir dua minggu belakangan, perempuan ini rajin menemuiku setiap pagi.
Aku mendongak. Bertatapan langsung dengan sang perempuan yang membawa sebuah vas berisikan berbagai macam bunga. Beberapa tangkai mawar putih terlihat mencolok di antara chrysanthemum dan daylily berwarna hijau. Sayangnya, pujian tentang betapa cantik buket itu kupendam di dasar hati karena aku tahu persis siapa pengirimnya.
"Mbak Becca, ini dapat kiriman bunga lagi," kata resepsionis Falcon itu. "Nggak ada tempat lagi di meja resepsionis, Mbak. Saya mau menawarkan di resepsionis lantai dasar, tapi tiga hari berturut-turut, saya juga menghibahkan buket bunga ke mereka. Meja ruang tunggu sudah penuh. Yang di depan elevator belum layu. Sayang kalau harus diganti."
Belum sempat aku berkata-kata, sang resepsionis sudah memberondongku dengan dengan sanggahan. Mau tak mau, aku harus menerima buket itu. Aku melayangkan pandang ke rekan kerja di sekitarku. Beberapa meja sudah dihias vas bunga hasil pemberianku setiap hari selama dua pekan ini. Bunga di kubikel Sharon baru saja diganti kemarin. Sebelum aku bertanya, dia sudah lebih dulu menggeleng. Menyiratkan penolakan untuk menerima buket yang kupegang.
"Dapat lagi, Beck?"
Pertanyaan itu membuatku sedikit terlonjak. Beberapa meter di sampingku, Bu Mitha―Account Manager Falcon―sudah berdiri di depan pintu ruangannya. Pandangannya tertuju lurus ke vas bunga yang kugenggam. Sementara resepsionis tadi sudah lebih dulu undur diri.
Rasa malu menjalar sampai ke ubun-ubun saat kepalaku mengangguk. "Bu Mitha mau ... lagi?"
Perempuan berambut cokelat itu menggeleng. "Sudah cukup tiga vas darimu kemarin. Kamu mau mengubah kantor saya jadi toko bunga?"
Pipiku memanas seketika. Terlebih karena semua orang bisa mendengarnya. Aku pun hanya mampu meringis sungkan. Meski termasuk orang berkepribadian santai, Bu Mitha selalu suka menyuarakan pendapat apa adanya.
"Sudah. Segera dibicarakan masalahmu dengan pacarmu itu. Kalau nggak selesai-selesai, lama-lama Falcon Advertising bisa benaran jadi Falcon Florist."
Tawa di dalam ruangan langsung pecah karena kelakar Bu Mitha. Tanpa memedulikan keriuhan di seantero kantor, wanita itu mengedipkan sebelah mata padaku sebelum memasuki ruangan. Aku beringsut duduk. Mencoba mengubur rasa malu dengan memainkan ponsel. Jemariku bergerak lincah, terburu-buru mencari nama Bintang.
Selama beberapa hari terakhir ini, aku berusaha menahan diri untuk tidak menegurnya. Murni karena aku malas berkomunikasi dengannya. Namun hari ini, aku sudah di ambang kesabaran. Dia sudah benar-benar mempermalukanku. Baru setengah jalan mengetik pesan, suara Sharon menghentikan gerakanku.
"Lo pernah kepikiran nggak, kalau sikap lo ini berlebihan?"
Kulayangkan tatapan tajam pada Sharon. "Berlebihan? Memang gue seharusnya bagaimana kalau ada klien yang memanipulasi gue? Senang? Bangga? Jingkrak-jingkrak kegirangan?!"
Sharon menghela napas panjang. Perempuan itu mengambil jeda sambil terus mengamatiku. Tampaknya dia menunggu sampai aku bisa mengatur emosi.
"Coba lihat masalah ini dari perspektif yang lebih luas. Anggap Etoile adalah korporasi besar dan punya banyak anak perusahaan. Apa dia salah kalau mau pakai Falcon untuk memasarkan anak perusahaannya? Bukannya kalau Falcon membantu Pluie, kita juga sama saja dengan membantu Etoile? Because technically, Pluie is a part of Etoile. It still belongs to Bintang. He has every right to do whatever he wants to Pluie. Termasuk meminta Falcon membantu anak perusahaannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Falling For The Forbidden
RomanceThis story contains: - Adult language and situations (21+) - Swearing - Subject matter that some readers may find offensive and disturbing It is not suitable for younger readers. Reader discretion is advised. -- Tidak ada kakak yang lebih berdedikas...