[Besok boleh saya jemput kamu di apartemen?] tanya Farrell dari seberang sambungan telepon.
Aku memutar badan. Punggungku bersandar pada langkan besi di balkon lantai lima gedung kantor. Sementara pandanganku terlempar ke dalam ruangan. Sepasang mata di balik sebuah kubikel tampak sedang mengawasi pergerakanku.
"Nggak usah, Mas. Saya langsung ke restorannya saja," jawabku pelan seolah Sharon bisa mendengar suaraku.
[Jangan. Toh, saya bisa jemput kamu. Izinkan saya menebus kesalahan karena sudah terus menunda pertemuan kita.]
Ajakan kencan pertama Farrell saat aku di rumah orangtuaku itu pada akhirnya batal. Setelah itu, dia masih harus mengatur ulang jadwal kencan kami sebanyak dua kali karena alasan pekerjaan. Baru hari ini dia memberi kabar kalau dia sudah mengosongkan jadwalnya seharian esok hari.
Aku tidak keberatan. Tidak pula merasa kecewa. Aku sudah kebal menjadwal ulang pertemuan dengan klien karena mereka terbentur jadwal pekerjaan atau ada urusan pekerjaan yang mendadak. Jadi, aku paham betul posisi Farrell. Setidaknya, dia selalu memberitahuku. Bukannya membiarkanku duduk berdua dengan segelas wine sampai restoran tutup. Setiap kali membatalkan janji, dia juga selalu mengirim bunga ke apartemen. Di samping itu, dia juga tak berhenti mencurahkan perhatian. Dia menanyakan hari-hariku. Di malam hari, kami mengobrol panjang lewat telepon.
Sikapnya padaku itu sangat manis. Seharusnya aku pun merasa tersanjung. Bahkan mungkin aku semestinya melompat kegirangan. Aku benar-benar mencari setitik rasa bahagia itu hingga ke sudut hati. Namun, kosong. Aku tidak merasakan apa pun.
[Rebecca?]
Aku tersentak. Mataku terpejam sesaat. Aku mengambil beberapa detik untuk menenangkan pikiranku yang sangat gaduh.
"I-iya, Mas."
[Boleh?]
"Eh? Boleh ... apa, Mas?"
Farrell tertawa kecil. [Sepertinya kamu lagi sibuk banget, ya.]
Aku meringis. "M-maaf, Mas."
[No. Saya yang seharusnya minta maaf karena sudah mengganggumu. I promise I'll let you go after this, but a quick question. Boleh saya menjemputmu di apartemen?]
Bahuku terangkat sekilas. "Ya. Why not?"
[Awesome. Besok saya kabari kalau sudah jalan ke apartemenmu, ya.]
"Ya, Mas."
[Oke. You have a good day, alright? See you tomorrow.]
"Oke."
Aku memutus panggilan telepon, tapi aku tidak segera masuk. Sejenak aku membiarkan angin pagi yang telah tercemar asap kendaraan bermotor menerjang tubuh. Berharap mereka dapat membawa pergi seluruh kegundahan di relung batin.
Suara pesan pemberitahuan email masuk di ponsellah yang akhirnya memaksaku kembali ke kubikel. Ada calon klien yang menjawab email-ku. Dari kalimatnya, dia terlihat tertarik dengan penawaran yang kuberikan. Aku harus siap dengan agenda seandainya dia mau membuat janji temu dan benda itu hanya ada di mejaku.
"Siapa, Beck? Bintang?"
Baru saja aku meletakkan pantat di kursi, Sharon sudah menuturkan keingintahuannya. Cukup dari caranya bertanya aku sudah bisa menebak kalau dia hanya ingin mengetes jawabanku. Dia tahu persis kalau aku dan Bintang sudah tidak bicara sejak berminggu-minggu lalu.
Aku menceritakan kejadian di pelataran parkir apartemen setelah Sharon tak berhenti bertanya tentang Bintang. Sepertinya dia bisa merasakan kegalauanku yang tak berkesudahan sejak peristiwa malam itu. Kemudian, aku makin uring-uringan setelah Bintang nyaris bertengkar dengan Farrell di restoran. Namun, aku belum menceritakan hal itu pada Sharon. Masalahnya, mustahil aku tidak menceritakan kejadian itu tanpa menyebutkan kalau Farrell mengajakku kencan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Falling For The Forbidden
RomanceThis story contains: - Adult language and situations (21+) - Swearing - Subject matter that some readers may find offensive and disturbing It is not suitable for younger readers. Reader discretion is advised. -- Tidak ada kakak yang lebih berdedikas...