Worth The Effort

2.8K 379 37
                                    

Dua minggu telah berlalu semenjak Bintang meninggalkanku di pelataran parkir apartemen. Sudah dua minggu, aku tak mendengar kabar darinya. Sepanjang dua minggu itu juga, aku berusaha keras menekan keinginan nurani yang mendesakku untuk menghubunginya. Terkadang, aku ingin meninggalkan pesan singkat. Seringkali, kerinduan pada sosok dan candaan mesumnya yang meronta-ronta di dasar hati membuatku hampir menyerah dan ingin langsung meneleponnya.

Ironis, bukan? Satu hal tentangnya yang kucemooh habis-habisan justru menjadi sesuatu yang kurindukan. Sikap senang bergurau yang dulu kuanggap sebagai kekurangan malah kuharapkan hadir untuk menemaniku mengisi malam. Aku mungkin telah berhenti menghubunginya, tapi bukan berarti aku tidak mengharapkannya tiba-tiba muncul di hadapanku. Memelukku erat dan meminta kami melupakan malam itu. Lalu, semua akan kembali seperti semula.

Sayangnya, semua itu tidak terjadi. Pada akhirnya, aku menerima kenyataan bahwa Bintang tidak bermain-main dengan ucapannya. Aku juga tidak ingin terkesan putus asa. Mengiba hingga membuatnya risi karena rentetan pesan dan panggilan telepon dariku. Beruntung, aku selalu bisa menahan diri. Setidaknya jadwal padat―atau jadwal yang sengaja kubuat padat―ini bisa sedikit mengalihkan fokusku dari Bintang.

Sabtu siang, aku memenuhi janji temu dengan calon klien di kawasan Tangerang. Lokasi pertemuan tidak terlalu jauh dari rumah kedua orang tuaku. Rencananya, usai menuntaskan urusan pekerjaan, aku menyusul adikku ke rumah Mama dan Papa.

Entah keberuntungan macam apa yang tengah bercokol di atasku. Ketika sedang menunggu klien, kulihat Bintang dan teman-temannya memasuki kafe. Raut ceria yang tadi hinggap di wajahnya luntur begitu tatapan kami bertemu. Rahangnya mengetat. Badannya ikut menegang.

Kontak mata kami terputus kala pramusaji membimbing mereka ke meja. Jarak di antaraku dan gerombolan Bintang hanya bersela beberapa meja. Dia yang berjalan paling belakang tak punya pilihan kecuali menempati kursi yang menghadapku. Namun, sejak duduk, Bintang terus menghindari tatapanku. Ketika sesekali aku mencuri pandang ke arahnya di sela-sela percakapanku dengan calon klien, dia masih enggan berbalas tatap denganku. Sekalipun aku menyadari dia memiliki hak untuk tidak mengindahkanku, sikapnya itu tetap saja menggerus dadaku.

Tak dimungkiri, jantungku berdesir lembut ketika melihatnya tertawa. Sungguh menyenangkan memperhatikannya yang tampak rileks. Bahkan aku pun bisa ikut menyunggingkan senyum tipis ketika mendengar suaranya. Setiap dia membuka mulut, kuamati teman-temannya akan menanggapi ucapannya dengan gelak tawa. Hanya saja, ketika mengingat canda dan tawanya itu tidak ditujukan padaku, ada rasa nyeri yang menyambangi dada.

Tidak ingin berlama-lama terjebak dalam perasaan manis dan getir yang datang silih berganti, aku berusaha mengakhiri pertemuan dengan cepat. Lagi pun, aku sudah memiliki firasat, calon klienku ini tidak akan membuang waktu untuk menerima tawaran kerja sama.

"Dalam waktu dua sampai tiga hari kerja, tim Legal akan menghubungi tim promosi perusahaan Mas Farrell dan CC Mas Farrell juga. Kalau sampai tiga hari kerja belum ada yang mengirim draf kontrak, Mas atau perwakilan pihak promosi bisa langsung email atau mengontak saya," tutupku setelah kami menyepakati perjanjian kerja sama secara informal.

"Very well. Terima kasih sekali, ya, Rebecca sudah mau menemui saya di akhir pekan seperti ini. Saya malah mengganggu weekend-mu."

Aku mengulas senyum profesional. "Nggak kok, Mas. Kebetulan memang jadwal saya kosong Sabtu ini."

"Kamu ... pekerja keras sekali, ya," pujinya. Terdengar begitu tulus. Tidak ada nada penuh penghakiman.

"Kalau nggak kerja keras, saya bakal kesulitan mempertahankan profesi sebagai AE, Mas," jawabku malu-malu sambil setengah menunduk.

Farrell tidak langsung menanggapi. Namun, matanya terus tertuju padaku. Aku yang salah tingkah memilih untuk meneguk mocktail.

"Kamu memang pengin atau terjebak jadi AE?" tanya Farrell.

Falling For The ForbiddenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang