Seulas senyuman tercetak sempurna di bibir Farrell saat aku memperbolehkannya meneleponku. Aku pikir setidaknya ada sejumput kelegaan yang menyambangi hati. Maksudnya, akhirnya aku selangkah lebih dekat dengan impianku. Bahwa aku telah mengambil keputusan yang tepat. Jadi, aku tidak paham mengapa aku malah merasa telah melakukan hal yang salah. Seakan aku telah berkhianat. Hanya saja, melihat wajah semringahnya membuatku tidak tega menarik kembali izinku.
Farrell lantas menawarkan diri untuk membuka pintu. Begitu aku sudah nyaman di kursi pengemudi, pria itu menutup pintu kembali. Dia masih bergeming, mungkin menungguku benar-benar berlalu.
Saat mengarahkan konsentrasi ke depan, mataku menangkap sosok Bintang yang sudah berpindah ke seberang area parkir. Sekalipun dari jauh, aku bisa merasakan tatapannya melekat padaku. Entah apa yang sedang menghuni kepalanya saat ini. Entah apa yang bergejolak di hatinya usai perdebatan kami tadi.
Ingatan tentang kejadian beberapa menit yang lalu kembali membanjiri batinku dengan kepiluan. Hatiku kebas. Jantungku seakan jatuh ke perut. Tanpa bisa kucegah, air mulai menggenangi pelupuk mataku lagi. Sebelum benar-benar tumpah, aku menancap gas. Aku memutuskan untuk mengambil pintu keluar di belakang restoran demi menghindari Bintang.
Setelah cukup jauh dari kafe, aku menepikan mobil. Tanganku menggenggam erat kemudi. Sejurus kemudian, pertahananku runtuh. Air menerjang bagai banjir bandang.
Aku tidak mengerti. Kata orang, menyuarakan perasaan apa adanya, melampiaskan isi pikiran sejujur-jujurnya akan memberi ketenangan. Namun, ketika melakukannya pada Bintang, ketika aku berbicara jujur dan menunjuk kesalahannya, mengapa aku malah merasa makin sakit? Dia pun sadar kalau dia salah. Lantas, mengapa jadi aku yang dihantui penyesalan?
Mengapa memberi kesempatan pada Farrell―keputusan yang seharusnya rasional―terasa seperti aku baru saja mengambil pilihan terlarang? Bagaimana bisa sesuatu yang semestinya logis justru menciptakan ganjalan besar di hati?
Raungan kencang menggema di dalam mobil, menyuarakan keputusasaanku. Melampiaskan rasa frustrasi karena tak ada yang bisa kulakukan untuk lari dari situasi ini.
Hatiku menyerukan agar aku kembali saja pada Bintang. Akan tetapi, membawanya kembali dalam hidupku hanya akan menciptakan masalah di belakang. Belum tentu kami bisa bertahan lama. Menjadi AE adalah pekerjaan yang akan kujalani seumur hidup. Sepanjang karier, aku akan terus bertemu klien yang gencar menggodaku. Apakah dia akan terus menantang para klien itu seperti yang dia lakukan pada Troy dan Farrell? Belum lagi kalau Veronica mempermasalahkan hubungan kami.
Sedangkan logika bersikeras bahwa Farrell adalah pilihan paling tepat, walaupun aku dan logika sadar betul hal itu akan menyakitkan bagi Bintang. Hatiku juga terasa seperti sedang dirajam kala menyaksikan luka yang kutorehkan saat aku dan Bintang berdebat. Sebaliknya, aku bisa merasakan secuil kebahagiaan saat melihatnya tertawa bersama teman-temannya di restoran tadi.
Pada akhirnya aku menyadari, hati pria itu seakan telah ikut tertanam di dalam diri ini. Sebenar-benarnya keputusanku, selama hal itu menyakiti Bintang, aku pun akan ikut sakit. Detik ini aku juga menyadari bahwa sebuah perasaan sentimentil telah tumbuh di relung hati. It is not just a fling. Perasaanku pada Bintang lebih kuat dari sekadar suka. Aku menyadari kalau aku telah jatuh. There's no denying that I have fallen for the forbidden.
Oleh karena itu, aku meneguhkan hati bahwa melepas Bintang menjadi satu-satunya pilihan terbaik yang kami punya. Ya, kami menikmati masa-masa saat kami bersama. It was fun while it lasted. Akan tetapi, kami tetap tidak dapat memungkiri kenyataan bahwa kami memiliki idealisme dan ego masing-masing. Dua hal yang terbukti sulit disatukan. Kalau sudah begini, untuk apa mempertahankan hubungan bila pada akhirnya kami akan saling menyakiti?
KAMU SEDANG MEMBACA
Falling For The Forbidden
RomanceThis story contains: - Adult language and situations (21+) - Swearing - Subject matter that some readers may find offensive and disturbing It is not suitable for younger readers. Reader discretion is advised. -- Tidak ada kakak yang lebih berdedikas...