Only If You Let Me

5.3K 463 1
                                    

Mataku mengerjap perlahan. Posisi tidur yang tengkurap sedikit menyulitkanku untuk mencerna situasi sekitar. Satu hal yang mencuri perhatian hanyalah suasana kamar yang terang. Nakas di sisi kanan ranjang yang hanya berhiaskan lampu tidur menjadi benda pertama yang kulihat.

Aku lantas membalikkan badan. Merentangkan kedua tangan untuk membangunkan sendi-sendi yang masih tertidur. Saat itu, aku merasakan ada sesuatu yang asing. Tidak biasanya aku kedinginan kalau bangun tidur. Apalagi ketika matahari sudah setinggi ini. Aku menarik selimut. Saat itu juga, aku tersadar kalau tubuhku hanya berbalut selimut!

Memori langsung mengantarku ke malam sebelumnya. Malam ketika aku menyerahkan segalanya pada Bintang. Lalu, kusadari hal aneh lainnya.

Dia tidak ada di kamar.

Tentu saja, dia tidak ada di sini! Bukankah sudah bisa ditebak kalau laki-laki sepertinya akan kabur pada kesempatan pertama setelah melalui malam panas? Mengendap-endap keluar kamar sebelum sang wanita bangun dan hilang begitu saja? Ketika bertemu, dia akan bersikap masa bodoh seolah-olah tidak pernah terjadi apa pun di antara kami?

Padahal semalam, dia membual tentang bagaimana bila dia yang justru terbawa perasaan setelah berhubungan intim denganku.

Ah, bodoh! Seharusnya aku juga tidak termakan rayuannya. Pria dengan kehidupan liar sepertinya pasti pandai berkata-kata manis supaya dia bisa tidur dengan seorang perempuan. Kemudian, dia bertingkah seperti orang lupa ingatan setelah berhasil melampiaskan nafsu.

Bukankah semestinya aku juga sudah bisa memprediksi dan menguatkan hati? Lalu, mengapa justru ada sesuatu yang mencelus di dada ketika menyadari dia pergi tanpa pamit? Kenapa air malah meleleh dari mata saat aku menemukan diriku tidur seorang diri dalam keadaan telanjang tanpa dia di sampingku? Untuk apa aku mengharapkannya mengucapkan selamat pagi atau meninggalkan catatan di atas nakas sebelum menghilang. Kata-kata seperti "Terima kasih untuk semalam" atau "I had fun last night", sekalipun tetap menyebalkan dan terdengar berengsek, akan tetap menenangkanku. At least I'd know where we stand. Setidaknya aku tahu kalau aku tidak perlu berharap lebih padanya.

But, he turns out to be the arsehole he said he wouldn't be. Lagi-lagi, ucapan tentang dirinya sebagai pria berengsek yang mampu beretika pada perempuan hanyalah omong kosong. Dan aku hanya perempuan naif yang mudah tertipu bualan mautnya.

Sialan!

Cepat-cepat aku menyeka air mata dan beranjak dari kasur. Setelah beberapa kali menghela napas untuk menentramkan gejolak memilukan di dada, aku berjalan ke lemari setelah mengambil celana dalam yang teronggok di atas lantai. Aku memilih mengenakan piyama tidur hijau emerald dengan tali spaghetti. Renda hitam menghiasi bagian dada. Selain boyshort dengan aksen renda hitam yang hanya menutupi setengah pantat, aku tidak memakai apa pun lagi di area bawah.

Kuamati isi kamar sekali lagi. Benar-benar tidak ada satu pun barang Bintang yang tertinggal. Ponselku juga tidak tertangkap pandangan. Sepertinya aku meninggalkan benda itu di dapur usai makan malam kemarin. Dengan lunglai, aku membuka pintu. Melangkah menuju dapur untuk mengambil ponsel.

"Rebecca?"

Sapaan itu membuatku terperanjat sampai melompat ke belakang. Mataku mengerjap beberapa kali. Memastikan bila penglihatanku tidak salah. Kerongkonganku yang mendadak kering hanya mampu mengucapkan satu kata.

"Bintang?"

"Whoa!"

Bintang yang sedari tadi hanya menyembulkan kepala dari balik partisi antara ruang keluarga dengan dapur mulai menunjukkan sosoknya. Dia berjalan pelan ke arahku dengan tatapan yang tidak terlepas dariku. Sorot penuh apresiasi yang berpadu dengan gairah mewarnai bola matanya.

Falling For The ForbiddenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang