Forever and A Day

3.7K 389 33
                                    

Warning: Explicit Sexual Content

Sebuah rumah mungil dengan taman kecil berhias rumput hijau dan teras berpagar kayu putih memenuhi pandanganku. Dua buah anak tangga kecil mengantar kami sampai ke depan pintu. Semenjak turun dari mobil, aku masih membisu. Pikiranku mencoba mencerna kenyataan bahwa aku adalah perempuan pertama setelah sang ibu yang dibawa Bintang ke rumahnya. Tersanjung saja tidak cukup untuk menggambarkan perasaanku saat ini.

Pria ini sungguh tidak bermain-main dengan ucapannya. Dalam hitungan hari, dia telah mengambil tiga langkah besar. Mulai dari menerimaku kembali, meminta restu Veronica, dan membawaku ke rumahnya.

Rupanya, tak ada yang lebih romantis dibanding seorang laki-laki yang begitu yakin ingin membuktikan keseriusannya. Bervas-vas bunga yang pernah dikirimkannya ke kantor tak sebanding dengan seluruh sikapnya hari ini. Sungguh, dia telah memberikan arti baru untuk kata romantis.

"It's nothing compared to your apartment," celetuknya, merendah.

Aku mendengkus geli. "Kalaupun rumahmu itu gubuk reot, aku juga bakal tetap senang datang ke sini. It's not about the house. It's about whom you share your house with."

Seulas senyum terlukis tanpa cela di wajah Bintang. Tatapan matanya yang dalam menyalakan sumbu api yang menghantar panas langsung ke pipi. Meskipun begitu, aku tidak berupaya menyembunyikan wajahku yang memerah. Aku biarkan dia menatapku sepuasnya. Biarkan dia juga tahu betapa besar cinta yang kumiliki untuknya. Setelah puas memandangiku, barulah akhirnya Bintang membuka pintu.

Interior khas Skandinavia yang serupa dengan Etoile menjadi hal pertama yang ditangkap indra penglihatanku. Aku lantas sibuk menyisir setiap sudut ruangan, mengamati perabotan kayu yang didominasi warna putih. Sama seperti di Etoile, rumahnya ini meninggalkan kesan nyaman. Membuatku betah berlama-lama di sini.

Lalu, kurasakan lengannya melingkar di perutku. Sejurus kemudian, dagunya hinggap di pundak. Bibirnya mencari celah di antara rambut. Memberi kecupan-kecupan singkat di leher. Aku memejamkan mata, menikmati sentuhan hangat nan sensual ini.

Bintang membalik badanku hingga kami bersemuka. Tanpa perlu kata-kata, kami sudah bisa menebak isi pikiran masing-masing. Seperti biasa, Bintang yang berinisiatif lebih dulu. Ditariknya tubuhku. Dia melumat pelan bibirku. Ketika lidah kami saling mengikat, jemarinya mulai mendaki punggung. Mengetahui apa yang ingin dilakukannya, aku membimbing tangannya ke bawah ketiak di mana ristleting sheath dress-ku berada. Dalam satu gerakan cepat, dia menurunkan ristleting.

Aku mencoba membantunya menanggalkan gaun, tetapi Bintang menghentikan pergerakanku. Diturunkannya tanganku. Bibirnya lantas menuruni leher saat dia membebaskan tubuhku dari dress pas badan itu. Lalu, dengan terampil, lelaki itu membuka kaitan bra.

"Apa kamu nggak bisa menunggu kita sampai di kamar dulu?" candaku usai Bintang melempar braku ke lantai.

Bintang menarik diri. Bola mata berselimut api gairah memindai cepat tubuh setengah telanjangku. Sebuah senyuman miring tipis tercetak di wajahnya.

Dia menggeleng. "I need you right here. Right now."

Tanpa diperintah, aku pun bersiap untuk duduk. Namun, Bintang mencekal tanganku. Dia melepas jaket kulit hitam yang melekat di tubuhnya lantas meletakkan benda itu di atas lantai. Dengan hati-hati, Bintang menuntunku berbaring di atas jaketnya.

Setelah memastikanku nyaman, dia menanggalkan kaus dan celana jeans-nya. Sekali lagi, aku bermaksud membantunya dengan membuka celana dalam berbahan renda milikku. Namun, tatapan sarat peringatan langsung memakuku di tempat. Mengisyaratkan agar aku tak bergerak seinci pun. Pria itu terkesan tidak peduli pada penantian panjang yang menyiksaku saat ini. Bahkan dia sengaja mengulur waktu dengan memasang pengaman.

Falling For The ForbiddenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang