At His Mercy

4.3K 390 16
                                    

Warning: Explicit Sexual Content

Sinar terang yang menyerang mata spontan membuatku menutup indra penglihatanku itu dengan tangan. Tak lupa juga erangan kesal lolos dari mulut karena aku terbangun dengan cara yang tidak mengenakkan seperti ini. Saat hendak membalikkan badan untuk menghindari terjangan cahaya, kurasakan sebuah benda berat tengah menindih sekaligus menahan gerakanku. Saat menunduk, aku langsung menemukan lengan seorang pria memelukku. Sebentar kemudian, aku baru menyadari embusan napas pelan dan teratur yang menerpa tengkukku.

Perlahan, aku menengok. Mendapati kepala Bintang tepat di belakangku. Wajahnya terlihat begitu damai. Sepertinya dia tidur sangat nyenyak, tidak terganggu sama sekali oleh sinar menyilaukan dari pintu balkon.

Ya, usai bercinta di sofa bed ruang keluarga, kami terlalu nyaman untuk berpindah tempat. Pelukan satu sama lain terasa begitu menenangkan. Bibir kami enggan melepaskan tautan. Entah siapa yang akhirnya terlelap lebih dulu. Hal terakhir yang kuingat hanya kami masih berciuman.

Kulirik jam dinding yang masih menunjukkan pukul tujuh lewat lima. Masih banyak waktu bagiku untuk bersiap-siap dan pergi menemui klien. Sebenarnya kehadiranku tidak begitu diperlukan. Aku bisa datang kapan saja. Itulah mengapa aku tidak terburu-buru pagi ini. Toh, persiapan tim produksi sudah maksimal. Aku hanya ingin memastikan bahwa klienku benar-benar puas dengan kinerja kami. Makanya, aku harus melihat secara langsung.

Dengan hati-hati, aku mengangkat tangan Bintang. Menyingkirkannya dari tubuhku yang hanya dibungkus selimut. Ketika hendak beranjak, Bintang justru kembali memelukku.

"Morning, gorgeous," sapanya dengan suara serak khas orang bangun tidur.

Aku mendengkus geli. "Kamu saja nggak melihat saya. Tahu dari mana saya cantik?"

Dalam satu gerakan cepat, Bintang membalik tubuhku. Dia mengangkat badan. Gerakannya itu turut menarik selimut ke atas dan mengekspos tubuh polosku. Seringai puas langsung terbit di bibir Bintang. Matanya mencermati inci demi inci kulitku.

"Cantik," gumamnya, membuatku menggeleng tidak percaya.

Dia menekuk siku dan meletakkannya di kedua sisi kepalaku. Wajahnya hanya berjarak beberapa sentimeter dariku. Bintang menatapku lekat-lekat sebelum melumat lembut bibirku. Aku bisa merasakan tubuhnya mulai bereaksi, terlebih ketika dia mulai meninggalkan jejak basah di rahang dan leherku.

"Oke. Kita harus berhenti sekarang. Saya harus bertemu klien siang ini," ucapku sambil mendorong Bintang pelan hingga punggung pria itu terempas ke sofa bed.

Sambil menahan selimut di dada, aku pun duduk. Mataku menyisir sekitar, berupaya mencari pakaianku.

"Mencari ini?"

Saat aku menengok, Bintang mengangkat setelan piyama, lengkap dengan pakaian dalamku. Ketika aku hendak mengambilnya, pria itu malah membuang baju-bajuku itu.

"Bintang!" pekikku.

Alih-alih merasa bersalah, Bintang justru cengengesan. Tidak ada ekspresi berdosa sama sekali. Dia benar-benar menikmati kejahilannya. Dia sudah kembali menjadi Bintang yang selama ini kukenal. Iseng, mesum, dan senang bergurau. Kontras dengan semalam ketika dia terlihat begitu rapuh, manja, dan enggan berjauh-jauhan dariku.

Lalu, sebuah ide mengetuk pikiranku. Tak ingin ketahuan kalau aku sedang merencanakan balas dendam, sekuat tenaga aku menjaga raut kesal. Sementara itu, tanganku mencengkeram erat selimut. Ketika Bintang benar-benar lengah, kutarik selimut dengan kencang selagi aku berdiri. Aku menggenggam kuat-kuat kain yang membungkus tubuhku sembari berlari menuju kamar. Meninggalkan Bintang yang terbaring tanpa sehelai benang pun. Aku mendengar pria itu memanggil namaku.

Falling For The ForbiddenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang